There’s A Reason

There’s a Reason

junhoe/yeon(oc) // 568 words, 3158 characters (without space) // AU

‘Dia Junhoe, tidak suka pelajaran sekolah, dan dia punya alasan.’

Aku bergerak-gerak tak menentu di depan sebuah pintu yang lumayan lebar. Memikirkan bagaimana seseorang yang kukenal didalam ruangan itu melewati tesnya. Bukan tes yang sulit sebenarnya, dan hanya beberapa soal.

“Jun..” aku bergumam.

Dan itulah dia, keluar dengan wajah seperti biasa —menjengkelkan.

“Bagaimana, kali ini?” aku bertanya tak sabaran.

“Aku lulus, Yeon!” senyumnya merekah.

“Berapa skormu?”

“Awalnya aku mendapat 40. Tapi kamu tahu kepala sekolah kita kan, dia baik, jadi dia naikkan skorku menjadi 60, dan aku lulus.”

“Kau bercanda, dia menaikkan skormu karena kau sudah mengikuti 5 kali tes dengan nilai buruk, Jun,” aku menggerutu. “Dan yang kutahu, kepala sekolah kita tidak sebaik itu. Tidak jika bukan padamu.”

Dia tertawa.

Ayolah, dia tidak sebodoh itu, dia pura pura. Dulu nilai akademiknya bagus. Dia hanya ingin membuat aku kesal. Dia hanya balas dendam.

“Aku gak suka dengan rumus fisikamu, Yeon.” dia bicara itu suatu saat di bulan Januari. “Apa itu namanya, Hukum Newton.. Yang membuat kita menghitung kecepatan sebuah apel terjatuh. Oh ayolah-“

Aku diam. Menggerutu dalam hati.

“Bisakah sekali saja kamu memalingkan mukamu dan melihatku, ini, di sini, aku.. Kau terus saja berkutat di sana.”

Saat itu, sekitar tiga bulan sebelum ujian kelulusan dan apa, dia bicara seperti itu. Aku benar benar ingat raut wajah itu. Dan dia benar benar tak mau belajar. Menyebalkan kan, memang.

Walaupun begitu, aku tidak pernah membencinya. Dia punya alasan, aku tahu. Malah aku memang begitu egois karena tidak pernah memikirkan perasaannya. Tapi kan, ini juga, demi dia, pikirku.

“Hai, sedang apa kamu di sini?” aku berbalik, terkejut saat seseorang membuka pintu kelas. Itu Junhoe.

“Aku baru akan pergi. Aku mau pesan tiket pesawat.”

“Jadi kamu diterima, ya?” dia menghampiriku. “Kenapa nggak bilang?”

“Aku menunggu berita baik darimu.”

“Aku gak bawa itu, aku gak daftar,” dia menunduk sedikit. Aku memperhatikan wajahnya dan postur tubuhnya. Ya Tuhan, mengapa dia begitu tinggi, padahal dulu dia lebih pendek dariku.

“Aku sudah menduganya,” aku tidak kecewa. Hanya saja. Aku ingin dia merasa aku kecewa padanya.

Aku berbalik, berjalan menuju pintu. Dia masih diam di dekat meja, menatapku. Aku bertanya apa dia ingin ikut. Tapi dia menggeleng. Dia terus memandangku sampai aku keluar dan mengucapkan, sampai nanti.

Dia Junhoe, tidak suka pelajaran sekolah, dan dia punya alasan.

Aku Yeon, menyukai segala macam tentang fisika, dan aku punya alasan.

Aku tahu, sejak awal, kami memang tidak perlu bertemu.

Hari di mana aku harus pergi. Aku menunggu Junhoe sejak tadi, di bandara. Dia tidak mengangkat ponselnya. Setelah itu, aku pulang lagi. Bukan ke rumahku. Aku malah berlari ke rumah Junhoe. Karena barusan, bibi yang ada di rumahnya meneleponku, mengatakan Junhoe masuk rumah sakit setelah mencoba mengiris tangannya.

Aku begitu ketakutan. Tangan dan kakiku gemetar. Bibi mengatakan dia baik baik saja, begitu juga kata dokter. Setelah diperbolehkan, aku masuk ke ruangan bercat hijau itu. Junhoe di sana, Jun yang kukenal. Berbaring dan memandangku, tersenyum.

“Maafkan aku,” dia berbisik saat aku duduk di samping tempat tidurnya.

Aku mengangguk. Dan keadaan pun sunyi, lama sekali.

“Ibuku meninggalkan aku hanya gara gara sebuah gambar rancangan gedung di ruang kerja. Ayahku meninggal karena memikirkan teori ‘kebenaran’-nya,” dia tersenyum —senyuman yang menghibur. “Sepertinya hidupku sial karena ilmu pengetahuan.”

“Jun, itu tidak benar.”

“Itu emang gak benar, aku tau kok. Aku kan bodoh, aku pikir kamu akan meninggalkan aku juga, karena, rumus fisikamu.”

“Jun..”

“Kamu tahu?” dia menatap mataku, dalam. “Aku benci ilmu pengetahuan, Yeon. Aku benci. Itu alasanku.”

Aku tahu Jun. Maafkan aku.[]

P

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *