Hilang, Agustus
Kenangan mulai meninggalkannya di awal musim gugur. Saat dedaunan kuning berserakan di aspal yang kasar. Mencuri perlahan helaian rambut indah gadis itu.
**
Musim panas datang. Teriakan-teriakan dan cekikikan menyelimuti siang yang panjang. Anak anak begitu senang karena akhirnya libur sekolah pun telah tiba. Begitu pun Gill dan Allan. Laut dan pasir memang pemandangan yang biasa bagi mereka, namun, musim panas memang berbeda. Laut dan pasir yang mereka kenal akan dengan senang hati menyapa dan menyelimuti mereka dengan canda tawa serta kicauan para burung yang meramaikan suasana. Tidak peduli seberapa beresikonya kulit mereka terpanggang dan menjadi cokelat, mereka tetap saja asyik tertawa dan berlari-lari.
Seragam berganti dan tahun ke tahun terlewati dengan indah. Kini mereka sudah bukan lagi anak kecil yang kaki-kakinya tidak pernah lelah untuk berlari. Kini tubuh mereka sudah lebih berat. Kini mereka adalah sepasang remaja yang siap untuk jatuh cinta.
Agustus itu berjalan lebih indah dari biasanya. Allan menyiapkan setangkai bunga mawar merah yang ditanamnya langsung di pekarangan rumahnya dan melilitnya dengan plastik bunga dan pita berwarna merah muda dicampur kuning. Dibawanya bunga itu ke pantai dan mendapati Gill sudah siap dengan kue ulang tahunnya ditambah dua buah lilin diameter kecil yang sudah ditancapkan pada kue itu.
“Selamat ulang tahun, Gill,” kata Allan, sedikit malu-malu sambil menyodorkan bunga mawarnya itu. Biasanya Allan tidak semalu itu. Hari ini sudah dipersiapkan sedemikian rupa agar terlihat spesial. Itu alasan kenapa Allan gugup bukan main. “Aku mencintaimu,” katanya kemudian.
Gill sedikit terkejut, wajahnya memerah. Ini ulang tahunnya, dan mereka sudah mengenal semenjak lima tahun lalu. Jadi, apa salahnya, pikirnya. Dia pun menerima bunga itu dan begitulah akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih yang mekar saat musim panas.
**
Suara deburan ombak terdengar di pagi hari. Menghancurkan sisa-sisa mimpi indah musim panas kemarin. Koran diantar ke depan pintu tiap rumah, bus-bus sekolah sudah mulai meluncur mengantar anak-anak sekolah, dan Gill terpaksa harus membuka kedua matanya.
Dia akan melakukan hal yang sama tiap paginya; mandi, sarapan, dan mulai menyiapkan barang bawaan untuk mengajar. Hari ini agak lain. Dia tiba-tiba merasa ingin kopi. Mungkin efek dari tidur semalam yang agaknya kurang berkualitas baginya.
“Aku akan menjemputmu sore nanti,” suara lelaki dari sambungan telepon itu mengukir senyuman di sudut bibir Gill. Itu kekasihnya. Lelaki yang terpaut dua tahun lebih tua darinya. Lelaki yang bisa membuatnya sangat bahagia. Lelaki yang memberikan setangkai bunga mawar malu-malu empat tahun yang lalu. “Aku mau kamu berpakaian cantik hari ini, kita akan berkencan,” tambah Allan, seakan-akan sesuatu yang spesial memang akan terjadi hari ini.
Gill tidak menghabiskan kopinya. Dia tinggalkan cangkir kopi itu di atas meja makan lalu pergi berangkat kerja. Biasanya dia tidak sejorok itu dengan meninggalkan cucian piring di meja makan. Tapi, hari ini agak lain.
Sorenya, Gill sudah berada di dapur kecilnya sambil membuat bola-bola cokelat. Memikirkan bagaimana ekspresi wajah kekasihnya saat mendapati meja makan penuh dengan makanan. “Ini hari spesial,” pikirnya.
“Kamu dimana, Gill?” Allan menelepon.
“Aku di rumah. Kapan kamu akan ke sini?”jawab gadis itu ceria, seperti biasa.
Hening untuk beberapa saat. Sampai Gill sempat kebingungan dengan telepon di tangan, karena di seberang sana, Allan tak kunjung menjawab pertanyaannya. “Kamu tidak ingat? Aku menunggu di depan sekolah, kita kan akan pulang bersama,” terdengar nada kekecewaan dari suara Allan.
“Oh ya, maaf. Aku buru-buru tadi. Aku sedang menyiapkan sesuatu untuk ulang tahunku.” Gill sedikit menyesal. “Jangan bilang kamu lupa sekarang hari ulang tahunku.” Gill meledek sedikit, berharap Allan akan menerima permintaan maafnya.
Alih-alih menjawab ledekan Gill, Allan memutus sambungan telepon itu. Gill agaknya merasa menyesal. Gadis itu berhenti dari kegiatannya dengan bola-bola cokelat di tangan yang akan dihidangkannya nanti ketika Allan sudah sampai rumahnya. Sebelum akhirnya Gill memutuskan untuk tetap melanjutkan kegiatan itu, dia melihat kalender di pojok dinding rumahnya. “Benar, sekarang ulang tahunku.”
Pintu rumah terbuka. “Kamu sudah di sini,” sapa gadis periang itu. Allan hanya terdiam, mengikuti apa yang dikatakan gadisnya itu untuk duduk dan makan. Menatap mata Gill yang terlihat bersinar-sinar karena memikirkan hal-hal yang dilakukannya bersama anak anak sejak pagi tadi. Mendengar celotehannya tentang bagaimana kepala sekolah menegur muridnya, dan tentang hal-hal lain yang selalu bisa menggelitik telinga.
“Kamu tidak membawa kue atau apapun, Allan?” sindir Gill pada akhirnya. “Sepertinya kamu sudah lupa dengan ulang tahunku, ya.”
Allan masih saja terpaku diam. Dia belum juga mengerti situasi ini. Semuanya seperti déjà vu. Semua detail yang gadis itu sampaikan padanya, bagaimana cara gadis itu menata hidangan di atas meja, bagaimana suara riangnya terdengar merdu di telinganya. Semuanya persis berjalan seperti tiga hari yang lalu.
“Gill, sepertinya kamu harus istirahat.” Sebelum Gill benar-benar melawan, Allan sudah memapahnya ke kamar tidur dan memastikan bahwa gadis itu memang harus benar-benar tertidur sebelum dia pulang ke rumahnya sendiri.
Allan terlihat sedikit menyesal. Diambilnya kotak cincin dari saku celana dan dibukanya kotak itu. Kelap-kelip berlian cincin justru membuat lelaki itu sedih, maka kotak itu ditutup kembali dan dimasukkannya ke dalam saku seperti semula. Ya, harusnya hari ini akan jadi hari bersejarah dalam hidupnya karena dia akan melamar gadis itu dan membawanya ke pelaminan agar bisa dia jaga sepenuhnya hingga akhir hayatnya. “Masih ada hari lain,” Allan menanamkan itu di dalam pikirannya agar dia tidak terlalu kecewa.
Tengah hari berikutnya, sesuatu yang lebih buruk terjadi. Allan melihat Gill sedang menonton tv di lantai atas, berlari ke arah dapur dan mendapati percikan api sudah mulai menjalar ke hampir dari setengah bagian dari ruangan itu. Allan tahu Gill tidak seceroboh itu, maka dia mulai khawatir dan berpikir bahwa Gill memang sedang tidak baik-baik saja.
Allan memang berharap kalau hal yang tidak baik-baik itu tidak benar adanya dan hanya sebuah mimpi buruk di awal musim gugur. Tapi itu bukanlah mimpi; itu alzheimer.
**
Gill mulai berubah, karena dia lupa. Dia bukan lagi Gill yang ceria, bukan lagi Gill yang mengenal Allan dengan baik, bukan lagi Gill yang..ingat.
Seringkali Allan bertanya apa gadis itu ingat pertemuan pertama mereka. Tapi lagi-lagi, gadis itu selalu menjawab, “aku lupa.” Ketika secercah harapan datang, membawa kita sampai ke langit. Entah seberapa tingginya, harapan itu akan terlihat menyenangkan. Tapi ketika harapan itu akhirnya hilang, yang ada hanyalah rasa sakit karena terjatuh dengan hebatnya.
Sayangnya, Allan tidak pernah menghentikan harapannya. Dia tetap berada di samping gadis itu. Tetap mencoba menjadi kaset memorinya. Tetap menjadi satu-satunya orang yang ingat. Tidak salah lagi, Allan memang telah mendedikasikan dirinya untuk menjadi memori gadis itu. Biarlah Gill lupa, tapi Allan tidak boleh.
Gill terkadang bertanya padanya cara menulis. Dia juga sempat menanyakan cara memegang sendok dan garpu serta menanyakan cara sikat gigi pada Allan. Dengan sabar lelaki itu menjelaskan detail-detail kecil. Menggenggam tangan gadis itu. Mempraktekannya bersama-sama. Allan tahu cepat atau lambat, gadis itu pasti akan lupa lagi, tapi dia tidak peduli.
“Semenyedihkan itukah diriku?” Gill memandang keramaian di jalanan kota. Seorang anak kecil tersenggol ke depan, dan es krimnya terjatuh ke trotoar. Anak itu menangis.
“Maksudmu, semenyedihkan es krim itu?” Allan menunjuk anak kecil itu. Lelaki itu pun memperhatikan kejadian di bawah sana rupanya.
“Mungkin,” Gill menarik nafas panjang, lalu ditahannya sebentar. “Yah, maksudku, aku terbangun suatu hari menjadi aku yang lain, lupa segala sesuatu hal. Ketika aku bertemu teman-teman, mereka selalu menceritakan apa yang bahkan aku seperti tidak ada di dalamnya, padahal, secara harfiah, aku ada di sana, di dalam cerita itu. Jadi, semenyedihkan itukah diriku?” Allan tidak menjawab. Membiarkan gadis itu mengeluarkan kekesalannya pada dunia. “Kamu tahu? Gajah adalah pengingat yang sangat baik. Seharusnya Tuhan menciptakanku sebagai gajah agar aku bisa mengingat semuanya dengan baik. Sekarang aku lebih memilih untuk menjadi gajah.”
“Kalau begitu, aku tidak setuju. Kamu adalah Gill, bukan gajah. Gill yang kukenal. Aku pasti akan sedih sekali kalau sekarang kamu berubah jadi gajah. Tapi jika itu maumu, aku akan memanjatkan doa yang sama pada Tuhan. Agar kita jadi gajah sama-sama.” Keduanya tertawa. Walau di dalam hati mereka ada satu kesedihan berarti, tapi mereka tidak mau saling memperlihatkan itu.
Gill sama tersiksanya dengan Allan. Dia merasa dunia ini akan hilang sedikit demi sedikit dari otaknya. Dia mencoba berbagai cara agar tetap ingat. Menulis, merekam suaranya sendiri, membuat catatan catatan apa saja yang harus dilakukan di ponselnya.
Gill yang mencintai pekerjaannya, akhirnya memutuskan untuk berhenti. Padahal pekerjaan itu sudah susah payah dia dapatkan. Yang paling membuatnya sedih adalah, menjadi guru adalah satu-satunya mimpi yang dia punya.
Sekali waktu, pernah Gill memutuskan untuk meminum obat tidurnya hingga overdosis dan berharap agar akhirnya dia mati saja. Tapi dunia masih memihaknya. Saat dia belum benar-benar kehilangan kesadaran. Allan menerobos masuk ke dalam kamarnya dan membawa gadis itu ke rumah sakit. Saat itulah dia sadar bahwa dia ternyata masih punya mimpi. Ya, Allan adalah mimpi dan kehidupan nyatanya. Dia tidak boleh membuat Allan bersusah payah menggotong jenazahnya dan menanggung pembicaraan orang lain yang entah mencemooh atau merasa empati pada kehidupan Gill sekarang. Setidaknya, dia tidak boleh membuat orang lain menatapnya dengan tatapan kasihan, karena itu akan menyakiti hati Allan.
“Aku telah melupakan banyak hal, ya?” Gill menyeka air matanya. Sedikit mencoba tersenyum diantara denyutan di kepalanya yang tak kunjung berhenti.
Allan memeluknya erat-erat. Meninggalkan rasa sakit di hati dan tenggorokannya. “Tidak apa-apa, Gill. Kamu akan baik-baik saja.” Allan tahu, dibanding rasa sakit hatinya, gadis itu pasti lebih merasa sakit lagi. Maka dari itu Allan mencoba bersabar. Pernah sekali Allan berurusan dengan polisi karena menghajar habis teman kerjanya yang menyuruhnya untuk meninggalkan gadis itu dan mengencani gadis lajang di kantornya.
Seberapa keras pun realita menampar mereka, mereka akan tetap menggenggam satu sama lain.
**
Tahun-tahun berlalu, meninggalkan pipi tembam yang sudah berganti menjadi tulang-tulang yang terlihat ingin keluar dari kulitnya. Tidak menyisakan barang sedikitpun memori indah di masa lalu. Gill lupa namanya, lupa ulang tahunnya, lupa akan siapa dirinya. Gill melupakan segalanya.
“Aku perlu tidur nyenyak malam ini,” Gill menatap wajah lelaki asing di hadapannya. Lelaki itu hanya tersenyum, mengecup keningnya, lalu menggenggam tangannya.
Dia pun tertidur amat nyenyak malam itu. Wajahnya tersenyum. Membuat suara ambulans terdengar dekat sekali dengan rumahnya pagi itu. Membuat isakan tangis terdengar sangat memilukan. Membuat gadis ceria itu tidak pernah terbangun dari tidurnya.
Alzheimer merenggutnya.
**
Begitulah. Sekeras apapun gadis itu mencoba bertahan. Semua orang pasti melupakan dan dilupakan, ditinggalkan dan meninggalkan. Seperti musim gugur yang membuat daun-daun hijau di musim panas berlari meninggalkan rantingnya.[]