Manusia kan, hanya bisa lari.
—
“Setahuku, Mozart tidak bermain seperti itu”
Dia tak menjawab, terus saja memainkan Molto Allegro-nya. Sampai dia menghela nafasnya dan berhenti menggerakan jarinya, “Aku gak suka Mozart”
“Lalu kenapa kau memainkan itu?”
“Itu bukan Mozart, itu, aku..” tatapannya terarah pada patitur musik di atas pianonya. “Dia begitu sombong, hanya karena bisa merasakan bunyi. Aku gak suka dia”
Aku diam saja. Duduk di sebelahnya dan mulai memainkan Canon.
“Aku tahu kamu juga gak suka dia” diam sebentar. “Aku selalu membenci apa yang kamu benci. Kamu juga tahu-“
Sunyi.
“Aku harus mati” kata kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Haruskah? Haruskah kita mati bersama-sama?” aku menoleh, memperhatikan mata yang tidak menatapku itu. Benar benar tenang. Terlihat senyuman tipis terukir di wajahnya. “Kamu akan senang jika kutemani, barangkali”
Lagi lagi sunyi. Nina pun tidak berkata apapun lagi. Jari jari kecilnya bermain main di atas piano, namun tidak menimbulkan bunyi apapun. Satu detik, dua detik. Bahkan yang kudengar hanya dentingan jam dinding yang berjarak sekitar enam meter dariku.
“Kamu akan ikut kontes itu kan?” dia bertanya, sambil tersenyum sebentar. “Aku juga, ibuku menyuruhku.”
Aku menatapnya sebentar, “ya, aku tahu.”
“Sepertinya kita memang harus mati. Atau mungkin tidak. Entahlah, kita tidak akan tahu sebelum mencobanya. Iya, kan?” suara dentingan jam terdengar lagi. “Asal aku bersamamu, mungkin hal yang buruk tidak akan terjadi.”
—
“Menjauhlah wahai anak manusia, menuju perairan dan belantara. Dengan seorang peri, bergandengan tangan. Sebab dunia ini penuh dengan kesedihan, melebihi yang dapat kamu pahami,” dia datang suatu hari, dengan warna kebiruan terlihat di sekitar mata dan pipinya. “Itu kata Cleopatra.”
Aku tidak terkejut. Pemandangan begitu sudah biasa bagiku. Nina disiksa lagi, oleh ayahnya. Aku tidak bertanya. Hanya tersenyum sebentar, dan duduk di sebelahnya.
Ayah Nina seorang pemabuk berat dan suka, bukan, sering memukuli Nina. Dan ibunya? Ibunya selalu diam. Terlalu terobsesi dengan seorang yang membiayai hidup mereka selama ini, seorang pria, pria besar dengan tubuh tegap. Pria itu membantu dengan syarat, Nina menjadi seorang pianis. Alasannya tidak pernah diketahui, dan tidak ada yang penasaran.
Aku bertemu dengannya, dua tahun lalu. Sama sama di kelas. Sama sama dikucilkan. Sama sama. Selalu sama sama. Aku tidak peduli lagi. Semua orang merasa aku dan Nina sepasang kekasih yang sangat cocok. Aku tidak peduli lagi. Lelaki tak punya ayah dan gadis yang disiksa ayah. Aku tidak peduli lagi. Makin lama Nina semakin dekat. Makin, meniruku. Mengikuti. Menguntit. Tapi sudah kubilang, aku sudah tidak peduli lagi.
—
Bunga-bunga dari pohon locust terlihat bermekaran dan menimbulkan bau khas. Empat sampai lima kali kuperiksa ponselku, tidak ada perubahan apapun. Gadis ini ada di sini, Nina, selalu menemaniku untuk melihat bunga pohon locust.
Dia mengambil buah locust yang terjatuh, membelahnya hingga terbuka, dan mengeluarkan bijinya, “biji-biji ini beracun, apa kamu tahu?” dia menutup kembali buah itu. “Bisa membuat kita mati.”
Hujan mulai turun. Awan-awan hitam melintas di langit sore di bulan Juli. Rasanya hangat. Burung-burung terlihat baru akan hinggap di pohon. Aku dan Nina berlari ke sebuah rumah tua kecil di dekat sana.
“Hujan selalu membuat kita berlari,” kata Nina, sambil membalik-balikkan tangan. “Padahal, hujan kan indah.”
“Kadang kita memang harus berlari walaupun meninggalkan sesuatu yang baik. Itu tergantung keadaan.” jawabku, sambil mengamati hujan.
“Oh Tuhan,” Nina bergumam pelan, saat mengamati pemandangan itu. “Mengapa hal-hal yang begitu indah membuatku begitu sedih?”
Kami terdiam di sana, agak lama. Sampai hujan berhenti dan ponselku berbunyi. Itu pesan dari Ibu, memintaku pulang.
Setelah itu, aku menggenggam tangannya. “Kita harus berlatih, itu, tinggal lima hari kan?”
“Oh.” dia menghela nafas. “Padahal aku lebih suka di sini daripada bermain piano.”
—
Hari ini pun tiba. Waktu terasa berjalan cepat sekali. Tidak pernah membiarkan orang orang malas menikmati hidupnya. Yah, aku tidak memikirkan orang yang malas. Hanya saja, aku melihatnya dari sini. Nina kecilku berdiri di sana. Dengan gaun warna merah yang terjulur dari bahu hingga menutupi kakinya. Aku bahkan ingin sekali melihat apa warna sepatu yang dipakainya. Mungkin merah, atau hitam, atau warna kaca seperti yang dipakai putri putri dalam negeri dongeng. Jujur saja, aku penasaran.
“Bagaimana?” tanyanya.
“Cantik,”
“Semuanya sudah siap, kan.”
“Hm..”
Dan kami pun mulai. Mulai untuk mengawali hidup baru, yang mungkin, akan lebih indah. Mungkin kan, kataku.
Selamat jalan.[]
©P March 23th 2016