Boy on The Window
hanbin/hayi // 571 words~ // hurt/comfort
‘Si Bocah Kecil di Ambang Jendela’
—
Saat ini ternyata dingin.
Udara musim panas sebulan yang lalu sepertinya sudah tak bersisa sedikitpun. Aku masih di sini, di kamarku, menegak kopi panas yang membuatku sedikit merasa, tidak dingin. Yah, hanya sedikit..
Memandang dedaunan dari pohon di depan jendela yang tertiup angin. wush wush- suaranya sedikit terdengar, entah karena angin bertiup terlalu kencang, atau, suasana yang memang sunyi, aku tidak tahu.
Di seberang sana, itu, enam meter dari pohon di depan jendelaku, biasanya di situ akan ada bocah kecil yang berteriak ‘Hayi!!’, membuatku memunculkan kepala ke luar jendela, membuat rambutku tertiup angin.
Saat ini ternyata dingin.
Jadi kuambil selimut dan melingkarkannya di pundakku. Sambil bertanya tanya, ‘kenapa semua tugasku sudah kuselesaikan?’ ‘kenapa malam ini begitu dingin?’ ‘kenapa kucingku tertidur lebih dulu?’.
Duh, aku kan jadi kesepian. Tak ada yang perlu kukerjakan pula. Menunggu bocah itu memanggilku? Bodoh. Dia sudah tidak tinggal di sana.
Dan pada akhirnya, aku hanya mencoba menulis, dan mengingat. Ini kisah nyata, judulnya, si bocah kecil dan aku. Bukan bukan. Si bocah kecil bermain bola. Memangnya dia suka bola ya? Tidak ah. Lalu kuputuskan, judul: Si Bocah Kecil di Ambang Jendela. Bukan judul yang bagus sih, hanya saja, itu pendeskripsian yang tepat.
Dia suka bermain; suka menari; bernyanyi, kadang; dia jelek di permainan bola; dia menyebalkan; dan dia, laki laki.
Aku tak lebih dari enam tahun saat ibuku bilang kami kedatangan tetangga baru. Kurasa saat itu aku senang senang saja. Biasalah, anak kecil. Aku lalu disuruh ibu membawa makanan sebelum makan malam dan berkenalan dengan keluarga Kim. Tuan Kim punya satu anak laki laki. Umurnya sama denganku.
Besoknya kami berangkat sekolah bersama. Begitulah besok, besok, dan besoknya lagi. Sampai sampai kami punya ide yang cukup bagus -untuk anak seusia kami-, yaitu, telepon kaleng. Aku baru tahu pada saat umurku sepuluh kalau ide itu hal yang biasa dan tidak patut dibanggakan.
Jadi kami akan berbisik bisik tiap malam. Dari jendelaku, sampai jendelanya. Dia akan bercerita, apapun. Mulai dari keluarganya, teman temannya, atau hal konyol yang dilakukannya hari itu. Begitu pula aku.
Suatu hari di musim panas, dia bilang, “Hayi! Ibuku mengajakku pergi ke acara tv. Aku berfoto dengan penyanyi!” dia bicara itu dengan penuh penekanan di setiap kata.
“Wah? Apa penyanyi itu perempuan, atau laki laki?” aku bertanya, dengan nada tak sabaran.
“Perempuan!” jawabnya gembira
Itu hanya masa lalu. Kalau saja saat itu aku bertanya, “untuk apa ibumu mengajakmu ke acara tv?” pasti aku sudah tahu kalau dia akan pergi. Karena kenyataannya, dia pergi, dan tidak bilang. Lebih parahnya, dia tak kembali.
Aku bertanya tanya pada ibuku, dan ayahku, dan kucing. Tapi mereka juga tak tahu. Pada akhirnya di bulan september, aku melihatnya di tv sedang bernyanyi, tepatnya, bernyayi dengan nada ‘yo yo yo’ seperti yang biasa aku dengar.
Kalau sekarang, dia pasti sudah tak ingat denganku. Padahal aku suka bermain bersamanya, aku suka rambutnya, aku suka gigi ompongnya. Aku suka, dia. Gadis memang mudah menyukai seseorang kan. Semua juga tahu-
Saat ini ternyata dingin.
Kopiku sudah habis, atau mungkin bersisa, tiga tetes. Yang pasti tak kuminum lagi. Aku naik ke atas tempat tidurku. Bukan untuk tidur, aku hanya akan menyalakan tv dan menonton.
“Apa harapan iKON di tahun 2016?” di tv, pembawa acaranya bertanya. Bukan padaku tentunya.
“Harapan kami, iKON bisa menggelar konser tunggal, di Korea, Jep~” ah, sudah tak kudengarkan lagi. Toh yang bicara hanya seorang bocah.
Mereka bertujuh, yang bicara hanya satu. Aku sudah tak peduli lagi.. Aku hanya ingin bilang, itu Hanbin, si bocah kecil di ambang jendela.[]
P