Tahun berikutnya, aku dan Allan merayakan ulang tahun masing-masing bersama. Awalnya kukira ulang tahunnya sama denganku, ternyata beda satu bulan lebih awal. Di hari ulang tahunnya, Allan lebih banyak bercerita dibanding biasanya.
“Aku pernah kenal seorang bapak yang belum pernah merayakan ulang tahunnya sendiri, padahal dia tidak pernah lupa hari itu,” katanya setelah meniup lilin di atas roti yang kusodorkan.
“Kenapa?”
“Katanya di hari ulang tahunnya yang ke delapan belas tahun, orang yang satu-satunya dia cintai meninggal. Dibanding merayakan ulang tahun, hari itu lebih cocok menjadi hari peringatan kematian. Namun, bapak itu terlihat baik-baik saja, dan bahagia.”
“Mungkin karena memikirkan orang yang dia cintai.”
“Ya, mungkin begitulah rasanya mencintai seseorang, Gill.”
Aku tidak yakin, tapi bisa jadi itulah hari pertama aku mencintai Allan. Saat itu aku sadar, di banyak percakapan, Allan hanya membicarakan hal-hal baik tentang orang lain. Bagaimana orang lain menjalani hidupnya, bagaimana orang lain berbagi, bagaimana orang lain saling mencintai. Lalu saat itu juga aku sadar, dia telah memberi aku banyak pelajaran berharga dalam hidup.
“Ulang tahun keberapa yang sangat berkesan, Gill?” tanyanya tiba tiba.
“Entahlah,” aku berpura pura tidak terlalu memikirkan itu padahal ulang tahun yang paling berkesan adalah saat aku dan Allan bertemu.
Hari itu aku habiskan dengan mendengarkan Allan bercerita tentang beberapa orang yang pernah ditemuinya. Sesekali dia membicakan silsilah keluarganya yang tidak terlalu besar. Dia berkata bahwa tidak semua keluarga saling menyayangi walau itu adalah sebuah keharusan. Allan juga meminta aku untuk melanjutkan hidup walau tanpa kehangatan keluarga, bahwa aku harus tetap semangat, dan terus melangkah maju.
Aku jadi ingat perkataan Torey Hayden di salah satu bukunya, “Aku lebih suka kita berteman, teman akan saling menyayangi karena ingin begitu, bukan harus begitu. Kita memilih untuk menjadi teman.”
Kali ini aku setuju dengan Torey, begitu juga dengan Allan.
Setiap tahun berjalan seperti itu. Kami tidak pernah bosan saling berbincang, karena justru ketika bertemu, kami lebih sering saling membisu. Tapi itulah yang menarik, Ayah. Allan tidak pernah menuntutku, atau bahkan dirinya sendiri, untuk terus memikirkan apa yang mau saling kami ucapkan. Allan selalu merasa senang jika kita saling memperhatikan dalam diam.
BAGIAN
Sambutan penulis untuk calon pembaca yang budiman.
Ketika bertemu cinta yang sebenarnya; Manusia akan merasakan tenang dan bahagia.
Ngomong ngomong tentang aku, seberapa banyak yang kamu tau?
“Punya keluarga belum tentu punya siapa siapa,”
Setelah itu baru aku sadar bahwa dunia terlihat sangat menakutkan ketika kita benar-benar sendirian.
“Kita sama sama meluangkan waktu untuk bersiap dan merias diri, lalu sama sama meluangkan waktu untuk pergi kesini. Tindakan kita memiliki arti.”
“Aku tidak percaya cinta,” Ya, sama.
Manusia kadang merasa kecil. Merasa tidak ada hal yang diketahuinya. Merasa jauh dengan dunianya. Merasa bukan siapa siapa, dan tidak punya siapa siapa.
“Aku lebih suka kita berteman, teman akan saling menyayangi karena ingin begitu, bukan harus begitu. Kita memilih untuk menjadi teman.”
“Ya, karena hidup memang tidak adil untuk beberapa manusia.”
Mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa ada begitu banyak hal indah di dunia.
“Tapi yang paling aku pahami dari semua itu adalah: Aku bertumbuh.”
Padahal, tidak usah bertanya, karena aku sudah tahu jawaban lelaki itu pasti, aku baik-baik saja kok. Padahal, tidak usah bertanya, karena sebenarnya aku tahu kalau lelaki itu tidak begitu baik-baik saja.
“Aku adalah Ratu Merah yang sudah dikalahkan dunia, dan kamu adalah Aliceku.”
Untuk; Allan