Untuk, Ayah – 5. Pertemanan

Aku dan Allan sepakat bahwa kita harus bertemu satu kali saja di tiap minggunya. Alasan pertama: Tentu dia tidak bisa kalau setiap hari meluangkan waktu bekerjanya demi pertemuan kami, begitu pun aku.

Alasan kedua, kami sepakat bahwa: untuk menjadi teman, kita harus punya waktu untuk merias dan mempersiapkan diri masing-masing, dan itu juga yang membuat waktu satu kali dalam seminggu itu terasa makin berharga.

Pertemuan kami tidak hanya di pinggir danau. Sehari sebelum bertemu, biasanya Allan akan mengirim pesan padaku yang berisi tempat pertemuan kami selanjutnya, dan aku akan menjawab, ‘oke.’

Bagi kebanyakan orang, mungkin akan lebih mudah berteman dengan saling mengirim pesan singkat di tiap malam, tapi kami sama-sama tidak setuju. “Harus bertemu dan berbincang, supaya kenal.” kata Allan.

“Teknologi mungkin baik dan membuat hidup manusia jauh lebih mudah. Namun, dengan begitu, jadi sedikit sekali tindakan yang memiliki arti.

“Kita bisa berteman karena saling melewati masa menjinakkan satu sama lain yang tentu butuh waktu, seperti kata Pangeran Cilik. Aku meluangkan waktu untuk mencari tempat untuk bertemu, dan kamu meluangkan waktu untuk mencari topik yang mau kita bicarakan. Kita sama-sama meluangkan waktu untuk bersiap dan merias diri, lalu sama-sama meluangkan waktu untuk pergi kesini. Tindakan kita memiliki arti.”

Aku, sebagai orang yang tidak terlalu peduli dengan teknologi, setuju pada Allan.

Ayah, selama hidupku, aku tidak pernah benar-benar punya teman. Kamu juga pasti sadar akan hal itu karena ceritaku sebelumnya. Kuakui memang aku agak (banyak) menutup diri. Bukannya tidak ada alasan.

Pertama, di usiaku, manusia kebanyakan sudah punya lingkungannya masing masing, dan akan sulit apabila orang asing seperti aku untuk masuk. Manusia kadang tidak suka terikat dengan orang yang tidak disukainya. Kita cenderung lebih memilah-milah pertemanan. 

Kedua, manusia sudah begitu menakutkan. Beberapa sudah tidak peduli lagi dengan norma karena kerasnya kehidupan yang dia jalani. Ayah, dua kali aku dijual dan dilecehkan oleh orang yang kuanggap teman. Saat itu usiaku masih sekitar delapan belas tahun. Jujur aku takut sekali, sampai berpikir untuk tidak mencari teman lagi.  

Di sini aku akan sedikit menyalahkanmu, ayah. Kamu salah satu orang yang harusnya bertanggung jawab terhadapku, tapi kamu malah tidak ada saat itu. Tapi aku tidak mau membahasnya. Di surat ini aku hanya akan bercerita tentang lelaki yang aku cintai ini, agar ceritanya tetap menyenangkan.

“Aku sudah ikhlas, tapi aku tidak bisa berhenti untuk marah. Mungkin bukan tidak bisa, tapi tidak mau. Setiap aku mencoba melupakannya, justru kenangan-kenangan itu langsung menyeruak kembali. Setiap aku coba mengabaikannya, orang-orang yang terlibat akan muncul ke dalam pikiranku. Membayangkan mereka tertawa haha-hihi seperti dulu tidak pernah terjadi apa apa.”

“Kamu tahu, melupakan kenangan buruk memang tidak bisa dijadikan sebagai hal yang bisa menghibur diri. Tapi melupakan adalah cara bertahan dan melanjutkan hidup. Melupakan adalah meninggalkan.”

Lagi-lagi, aku mengingat ketenangan dalam kata kata Allan yang terdengar begitu menghibur.

BAGIAN

Sambutan penulis untuk calon pembaca yang budiman.

Baca Selanjutnya

Ketika bertemu cinta yang sebenarnya; Manusia akan merasakan tenang dan bahagia.

Baca Selanjutnya

Ngomong ngomong tentang aku, seberapa banyak yang kamu tau?

Baca Selanjutnya

“Punya keluarga belum tentu punya siapa siapa,”

Baca Selanjutnya

Setelah itu baru aku sadar bahwa dunia terlihat sangat menakutkan ketika kita benar-benar sendirian.

Baca Selanjutnya

“Kita sama sama meluangkan waktu untuk bersiap dan merias diri, lalu sama sama meluangkan waktu untuk pergi kesini. Tindakan kita memiliki arti.”

Baca Selanjutnya

 “Aku tidak percaya cinta,” Ya, sama.

Baca Selanjutnya

Manusia kadang merasa kecil. Merasa tidak ada hal yang diketahuinya. Merasa jauh dengan dunianya. Merasa bukan siapa siapa, dan tidak punya siapa siapa.

Baca Selanjutnya

“Aku lebih suka kita berteman, teman akan saling menyayangi karena ingin begitu, bukan harus begitu. Kita memilih untuk menjadi teman.”

Baca Selanjutnya

“Ya, karena hidup memang tidak adil untuk beberapa manusia.”

Baca Selanjutnya

Mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa ada begitu banyak hal indah di dunia.

Baca Selanjutnya

“Tapi yang paling aku pahami dari semua itu adalah: Aku bertumbuh.”

Baca Selanjutnya

Padahal, tidak usah bertanya, karena aku sudah tahu jawaban lelaki itu pasti, aku baik-baik saja kok. Padahal, tidak usah bertanya, karena sebenarnya aku tahu kalau lelaki itu tidak begitu baik-baik saja.

Baca Selanjutnya

“Aku adalah Ratu Merah yang sudah dikalahkan dunia, dan kamu adalah Aliceku.”

Baca Selanjutnya