Untuk, Ayah – 4. Tentang Aku (II)

Setelah apa yang sudah kuceritakan, kurasa kamu akan sedikit penasaran dengan kehidupanku setelah lulus SMA. Aku diterima di universitas ternama. Mungkin karena aku pintar, atau mungkin juga karena aku hanya beruntung saja. Sayangnya saat itu aku sama sekali tidak tertarik. Aku lebih tertarik mencari cara untuk kabur dari rumah paman dan bibi. Sampai akhirnya suatu malam aku mengemas sedikit baju dan buku sampai ranselku tidak muat apa apa lagi, lalu memutuskan untuk pergi.

Waktu itu kurasa aku terlalu sombong karena mengira bisa melakukan semuanya seorang diri. Tapi setelah itu baru aku sadar bahwa dunia terlihat sangat menakutkan ketika kita benar-benar sendirian.

Malam pertama setelah aku kabur dari rumah itu, sebenarnya aku bingung mencari tempat untuk tidur. Aku terus berjalan dari menyusuri keramaian kota, duduk sebentar di taman dekat danau, memperhatikan anak-anak bermain. Tersenyum sedikit karena ikut merasakan kebahagiaan mereka saat berlari walau hanya telanjang kaki. Tidak lama, aku bingung lagi.

Hari itu, akhirnya aku memutuskan untuk tidur di alun alun kota. Malam terasa dingin sekali. Aku mengeluarkan jaket tipis yang paling tebal dari semua pakaian yang aku bawa. Lalu menutupi bahu sambil terduduk menyender ke dinding gedung alun-alun. 

Paginya, seseorang membangunkanku. atau secara harfiah dia tidak membangunkanku, aku cuma kaget dan terbangun saat dia membuka kran air yang jaraknya tidak jauh dari tempat aku duduk.

“Pagi, dek. Kamu tidur di sini semalaman?” tanyanya menyapaku yang masih terkaget kaget.

“Ah, iya, pak,” aku sedikit memperbaiki posisi dudukku agar tidak terlihat canggung.

Setelah itu dia duduk di sebelahku, sedikit banyak bercerita tentang kehidupan saat mudanya. Menceritakan bagaimana dia menyesal karena tidak melakukan hal hal yang dia sukai saat muda dulu. Kurasa dia mencoba untuk menghiburku sesekali, atau mungkin dia hanya penasaran dengan apa yang sebenarnya aku alami.

Kami mengobrol sekitar 1 jam. Saat itu aku bersyukur karena punya hal untuk membunuh waktu. Tidak sadar saat itu perutku berbunyi agak keras sampai bapak itu mendengarnya, “aah, saya belum makan, kamu juga kan? Ayo kita ke tempat saya biasa makan soto. Rasanya enak, selagi disini kamu harus coba sedikit.”

Sekeras apapun bapak itu penasaran akan alasanku berakhir menginap di alun-alun kota, aku tetap tidak cerita. Pertemuan kami berakhir ketika kami sudah selesai makan soto. Waktu itu aku masih punya uang untuk membayar makanannya, hanya saja bapak itu mendahului dan membayar makananku.

Karena terlalu bingung, aku memutuskan untuk pergi ke stasiun kereta dan mengecek kereta apa yang akan berangkat selanjutnya. Aku membeli tiket kereta daerah yang murah dan membiarkan diriku dibawa ke kota yang bahkan aku belum pernah menginjaknya.

Itu sebuah kota kecil yang dekat dengan pantai. Aku berjalan dari stasiun menuju pantai dan duduk di pasirnya yang panas. Sampai akhirnya beberapa saat kemudian seorang bapak kembali menghampiriku. 

Bapak itu belum terlalu tua. Kukira hanya beda 10-15 tahun denganku. Entah sihir apa yang dibawanya, atau mungkin aku memang sedang kesepian saja. Aku mempercayakan bapak itu untuk mendengar semua ceritaku. “Bodoh!” kutukku pada diri sendiri. Padahal aku dengan susah payah menjaga diri dari orang asing tapi malah dengan gamblang menceritakan semua kisahku pada bapak itu. 

Hari sudah mulai sore. Bapak itu beranjak dari pasir tempatnya duduk dan mengajakku pergi ke rumahnya. “Ada kamar kosong, kamu bisa tinggal di sana selama yang kamu mau,” katanya. Dengan sedikit ragu, aku mengikutinya karena memang sedang bingung mau tidur dimana. 

Rumahnya tidak terlalu besar. Dia mengenalkan istri dan dua anaknya. Setelah mendengar instruksi dari si bapak, istrinya mengantarku ke kamar tidur kosong yang dimaksud. Saat itu aku bersyukur bukan main. Keluarga kecil itu hangat sekali, ayah. Seperti yang selalu digambarkan otakku akan kehidupan berkeluarga yang harmonis dan sejahtera. Aku diajaknya makan malam di ruang keluarga tidak bermeja dan memakan tempe goreng juga sayur sop hangat. Malam itu, setelah tersenyum meminta izin untuk pergi ke kamar duluan, di kasur yang menurutku empuk sekali, aku membenamkan muka diantara bantal yang ada di sana. Setelah sekian lama, akhirnya air mataku keluar juga.

Dengan kepintaran dan keterampilanku, tidak butuh waktu lama sampai akhirnya aku punya pekerjaan. Saat itu aku menjadi pelayan di sebuah restoran kecil di dekat pantai. Tidak banyak pelanggan, tidak banyak yang kukerjakan dan tidak banyak pula yang bisa aku ceritakan saat bekerja di sana. Suasananya membosankan sekali. Tapi saat itu aku senang karena bisa ke pantai setiap hari.

Kamu tahu, ayah? Buatku, pantai adalah tempat yang sangat menghibur. Di sana, suara orang orang, sekeras apapun, akan kalah dengan suara deburan ombak. Di sana adalah satu-satunya tempat yang ramai namun tidak berisik. Di sana adalah tempatku menutup mata dan menikmati hidup. 

Tentang pantai, terkadang aku juga teringat tentangmu dan ibu. Aku rasa dulu kita bertiga pernah merasa sangat bahagia saat berada di atas pasir pantai yang panas. Benarkah begitu, ayah? Kalaupun sebenarnya itu hanya khayalanku, aku senang karena bisa merasa ingat hal-hal bahagia tentang kalian berdua. Aku senang karena setidaknya, aku merasa pernah tertawa bersama.

BAGIAN

Sambutan penulis untuk calon pembaca yang budiman.

Baca Selanjutnya

Ketika bertemu cinta yang sebenarnya; Manusia akan merasakan tenang dan bahagia.

Baca Selanjutnya

Ngomong ngomong tentang aku, seberapa banyak yang kamu tau?

Baca Selanjutnya

“Punya keluarga belum tentu punya siapa siapa,”

Baca Selanjutnya

Setelah itu baru aku sadar bahwa dunia terlihat sangat menakutkan ketika kita benar-benar sendirian.

Baca Selanjutnya

“Kita sama sama meluangkan waktu untuk bersiap dan merias diri, lalu sama sama meluangkan waktu untuk pergi kesini. Tindakan kita memiliki arti.”

Baca Selanjutnya

 “Aku tidak percaya cinta,” Ya, sama.

Baca Selanjutnya

Manusia kadang merasa kecil. Merasa tidak ada hal yang diketahuinya. Merasa jauh dengan dunianya. Merasa bukan siapa siapa, dan tidak punya siapa siapa.

Baca Selanjutnya

“Aku lebih suka kita berteman, teman akan saling menyayangi karena ingin begitu, bukan harus begitu. Kita memilih untuk menjadi teman.”

Baca Selanjutnya

“Ya, karena hidup memang tidak adil untuk beberapa manusia.”

Baca Selanjutnya

Mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa ada begitu banyak hal indah di dunia.

Baca Selanjutnya

“Tapi yang paling aku pahami dari semua itu adalah: Aku bertumbuh.”

Baca Selanjutnya

Padahal, tidak usah bertanya, karena aku sudah tahu jawaban lelaki itu pasti, aku baik-baik saja kok. Padahal, tidak usah bertanya, karena sebenarnya aku tahu kalau lelaki itu tidak begitu baik-baik saja.

Baca Selanjutnya

“Aku adalah Ratu Merah yang sudah dikalahkan dunia, dan kamu adalah Aliceku.”

Baca Selanjutnya