Untuk, Ayah – 3. Keluarga

Aku dan Allan semakin dekat dan terbuka di pertemuan ketiga, pertemuan yang membahas tentang keluarga.

“Hidupku penuh kesialan melebihi yang dapat aku pahami,” hari itu, aku yang memberanikan diri untuk memulai percakapan. Dia yang sedang duduk di sebelahku cuma meringis sedikit, entah karena tidak peduli, atau suaraku yang kecil sampai dia cuma dengar samar-samar.

“Menurutmu, kenapa manusia selalu merasa dirinya paling menderita?” ternyata dia peduli, dan mendengar perkataanku.

“Entahlah, mungkin karena kita selalu berpikir bahwa kita adalah satu-satunya.”

“Maksud dari satu-satunya?” 

Aku yakin dia hanya pura-pura tidak tahu apa yang aku maksud, karena itu aku tidak menjawab. Aku merasa sedikit kesal karena Allan tidak menanggapi perkataanku dengan serius. Padahal saat itu aku sedang ingin dihibur.

“Tuhan tahu semua yang ada di langit dan di bumi. Dari bintang di langit hingga kerang di dasar laut. Tapi kita ‘manusia’ sering berkata bahwa Tuhan tidak pernah tahu perasaan kita saat sebuah azab diturunkan atas perbuatan kita, saat orang yang dicintai diambil dari tangan kita, atau ketika kita memiliki segalanya sebelum semua itu hilang.” dia menatapku sebentar, “Tuhan tahu, tapi apakah dia pura-pura tidak tahu? Aku rasa tidak.”

Aku mengerti sekali apa yang dia maksud, tapi sesaat kuabaikan perkataannya. Aku benar-benar sedang kesal pada kehidupan yang saat itu aku jalani. Aku merasa seperti tidak ada yang bisa mengenal diriku sepenuhnya. Namun perasaan itu berakhir ketika aku tahu apa yang laki-laki itu hadapi. Perasaan itu berakhir ketika Allan memulai ceritanya..

Allan tidak ingat dimana dia dilahirkan. Dia tidak ingat orang tuanya. Dia tidak ingat siapapun di masa kecilnya. ‘Anak yang dibuang,’ adalah sebutan Allan untuk dirinya sendiri. Hal pertama yang bisa dia ingat adalah bagaimana dia dipukuli berhari-hari oleh seorang bapak tua yang punya toko daging di sebuah kota yang bahkan dia tidak ingat namanya. Saat itu dia berusia sekitar enam atau tujuh tahun. 

“Punya keluarga belum tentu punya siapa-siapa,” katanya yang membuat aku sadar bahwa sebenarnya, bapak tua itu adalah ayahnya.

Kamu tahu ayah, aku hanya merasa sedikit tidak beruntung karena dilahirkan dengan orang tua seperti kalian, namun di balik ketidak-beruntunganku, masih bisa bertahan sampai sekarang pun, sebenarnya adalah suatu keberuntungan. 

Hidupku penuh kesialan melebihi yang dapat aku pahami. Selain itu juga penuh keberuntungan yang tidak banyak orang alami.

Kembali pada cerita Allan. 

Untuk beberapa orang, sebutan Allan pada dirinya sendiri sedikit terkesan tidak tahu terima kasih. Beberapa orang (terutama yang pernah jadi orang tua), akan berkata bahwa mau bagaimanapun, mereka tetap orang tua yang sudah melahirkannya. “Memang aku minta dilahirkan?” biasanya, itu jawaban Allan.

Aku tidak akan menyatakan pendapatku tentang itu di surat ini. Karena ini surat untukmu, ayah. Tapi, aku sedikit penasaran, bagaimana kalau menurutmu? Bagaimana pandanganmu tentang hal itu sebagai orang tua yang memang meninggalkan anaknya? Apa kamu akan jadi salah satu yang bilang bahwa Allan tidak tahu terima kasih, atau justru sebaliknya? Yah, sesuai yang aku ingat, kamu mungkin tidak akan berkomentar apa apa. Kamu kan pendiam sekali..

Allan pernah menginjak pendidikan formal selama 2 tahun, tapi alih-alih belajar, dia memakai kesempatan bersekolah untuk mengumpulkan uang sakunya lalu kabur dari kehidupan bersama ayahnya.

“Bagaimana dengan ibumu?” tanyaku.

“Aku tidak pernah mengenalnya. Tapi aku yakin dia mungkin ada, entah disuatu tempat yang mungkin bahkan dekat sekali,” dia menekan dadanya, menunjukan kemungkinan bahwa ibunya ada di sana. “Tapi, Gill. Aku tidak pernah berharap. Dimanapun dia, aku tidak peduli. Yang aku tahu adalah, aku tidak pernah mengenalnya.”

“Kamu pernah merindukannya?”

“Bagaimana bisa merindukan orang yang tidak kita kenal?” Dia tertawa kecil, menatap aku.

“Oh iya, sih,” jawabku singkat.

Tidak banyak yang dia ceritakan tentang keluarganya. Allan orangnya tertutup sekali. Dia biasanya cerita dengan teka-teki, yang dimana aku harus memasang puzzle supaya cerita itu bisa berunut walau tidak sempurna.

Kalau kamu tanya kenapa aku mencintai lelaki itu, aku tidak akan cerita sekarang. Yang pasti, sebelum melanjutkan ke cerita selanjutnya, aku mau peringatkan kalau aku mencintai Allan bukan karena kasihan. Rasa kasihan beda sekali dengan rasa mencintai, ayah. Kuharap kamu bisa paham itu. Aku sedikitnya tahu bahwa ibu mencoba bertahan karena kasihan padamu dan juga aku. Tapi pada akhirnya, itu juga bukan sesuatu yang benar, bukan? 

Lagipula, kalau itu aku; aku justru tidak akan suka jika dikasihani.

BAGIAN

Sambutan penulis untuk calon pembaca yang budiman.

Baca Selanjutnya

Ketika bertemu cinta yang sebenarnya; Manusia akan merasakan tenang dan bahagia.

Baca Selanjutnya

Ngomong ngomong tentang aku, seberapa banyak yang kamu tau?

Baca Selanjutnya

“Punya keluarga belum tentu punya siapa siapa,”

Baca Selanjutnya

Setelah itu baru aku sadar bahwa dunia terlihat sangat menakutkan ketika kita benar-benar sendirian.

Baca Selanjutnya

“Kita sama sama meluangkan waktu untuk bersiap dan merias diri, lalu sama sama meluangkan waktu untuk pergi kesini. Tindakan kita memiliki arti.”

Baca Selanjutnya

 “Aku tidak percaya cinta,” Ya, sama.

Baca Selanjutnya

Manusia kadang merasa kecil. Merasa tidak ada hal yang diketahuinya. Merasa jauh dengan dunianya. Merasa bukan siapa siapa, dan tidak punya siapa siapa.

Baca Selanjutnya

“Aku lebih suka kita berteman, teman akan saling menyayangi karena ingin begitu, bukan harus begitu. Kita memilih untuk menjadi teman.”

Baca Selanjutnya

“Ya, karena hidup memang tidak adil untuk beberapa manusia.”

Baca Selanjutnya

Mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa ada begitu banyak hal indah di dunia.

Baca Selanjutnya

“Tapi yang paling aku pahami dari semua itu adalah: Aku bertumbuh.”

Baca Selanjutnya

Padahal, tidak usah bertanya, karena aku sudah tahu jawaban lelaki itu pasti, aku baik-baik saja kok. Padahal, tidak usah bertanya, karena sebenarnya aku tahu kalau lelaki itu tidak begitu baik-baik saja.

Baca Selanjutnya

“Aku adalah Ratu Merah yang sudah dikalahkan dunia, dan kamu adalah Aliceku.”

Baca Selanjutnya