Ngomong-ngomong tentang aku, seberapa banyak yang kamu tahu?
Tidak banyak kenangan yang kita lalui bersama, tapi samar samar aku mengingat malam dimana kamu masuk ke kamarku dan menyimpan dua buah majalah anak-anak, satu buku cerita Donald Duck, dan satu buku catatan ukuran A5 juga pensilnya. Kamu pasti mengira aku tidur. Tidak ayah, waktu itu aku sedang sakit gigi. Sedang menangis tapi buru buru kuhapus karena aku takut kamu lihat. Aku sempat mengintip sedikit, melihat kamu menyimpan semua hadiah buku-buku itu di sebelah kepalaku, lalu pura-pura tertidur lagi. Kurasa itu terakhir kali kita bertemu kan, Ayah? Karena sehabis malam itu aku sudah tidak ingat apapun lagi tentangmu.
Saat menulis ini, usiaku dua puluh lima tahun. Usia dimana banyak orang sudah sibuk dengan karir maupun hubungan asmaranya. Usia dimana banyak orang sudah memikul bebannya masing-masing, merasakan kesendirian yang mendalam karena menyadari bahwa dia memang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Aku sesekali melihat berita di tv, betapa banyak tindakan kriminal, penipuan, bahkan bunuh diri yang dilakukan oleh orang orang seusiaku.
Walaupun begitu, aku, si anakmu ini, telah familiar dengan itu semua sejak usiaku lima tahun. Itu adalah pertengkaran kalian yang pertama kali bisa aku ingat. Aku yang sedang tidur hingga terbangun kaget saat ibu berusaha memasukanku ke dalam tas ransel besar. Saat itu, aku tidak mengerti. Aku malah membantunya dengan melompat masuk dan terduduk diam di dalam ransel. Sempat aku mengintip dan melihat semua kekacauan rumah yang kalian timbulkan. Kaca kaca pecah berserakan, lampu meja yang sudah terlempar ke sudut ruangan, kamu yang sedang menangis. Tidak berapa lama setelah aku dan ibu keluar dari rumah itu, kamu berlari mengejar kami dan membuka ransel yang menjadi tempat persembunyianku. Kamu menarikku dan ibuku berteriak. Tidak lama setelah itu, aku ingat tetangga berhamburan keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Kukira sehabis itu kamu, ibu juga aku kembali ke rumah dan semua berjalan kembali seperti biasa.
‘Seperti biasa,’ mungkin terdengar seperti benar-benar biasa. Tapi mungkin kamu juga tahu sendiri bagaimana standar ‘biasa’ keluarga kita, bukan?
Beberapa kali aku ingat ibu membawaku kabur, dan pada akhirnya kamu bisa menemukan kami. Begitu begitu terus. Aku dulu sama sekali tidak paham kenapa kalian sering bertengkar. Mungkin karena ayah menyebalkan, atau ibu yang memang tidak sabaran, atau mungkin karena aku yang nakal, semuanya hanya kemungkinan yang bisa aku pikirkan. Sampai akhirnya aku sadar ketika dewasa, kalau kalian memang tidak cocok saja.
Ayah, kenapa dulu mempertahankan hubungan dengan ibu kalau memang kalian merasa tidak cocok. Kalau alasan kalian bertahan karena aku, kurasa tidak benar juga. Yang kalian lakukan hanya menyiksa batinku.
“Semua yang baik, belum tentu benar.” Kalimat itu pernah aku dengar dari Allan. Aku setuju padanya.
Aku ingat kalau keluarga kita miskin sekali. Itulah yang membuatku terbiasa tidak punya apa apa, tidak punya siapa-siapa. Kamu melarangku bermain dengan anak-anak tetangga. Kamu bilang mereka nakal dan tidak tahu aturan. Aku yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah hanya bisa bicara di dalam pikiranku sendiri. Kalian mungkin tidak tahu, tapi kepalaku berisik saat itu.
Kadang aku bingung dengan sikap ibu. Di suatu hari dia bisa baik sekali. Memasak di pagi hari, membersihkan rumah, mencuci baju, semua dilakukan tanpa meminta bantuanku sama sekali. Tapi di hari lainnya, dia bisa sangat menakutkan. Seringkali dia melemparkan gelas ke sebelahku hanya karena aku salah bicara, atau memukul, atau mengunciku di kamar mandi kalau malas bersih-bersih atau mengerjakan PR. Ibu juga jarang pergi keluar. Aku beberapa kali mendengar ibu menangis sendiri di kamarnya. Setelah mendengar ibu menangis, aku biasanya jadi lebih rajin, takut kalau ternyata ibu menangis gara gara aku. Jadi aku mencoba menghiburnya.
Waktu itu aku sibuk memikirkan masalah orang dewasa. Waktu itu aku baru akan beranjak sembilan tahun dan masih terlalu lugu untuk berpikir bahwa, meninggalkan masalah orang dewasa dan membiarkan orang dewasa mengurusnya sendiri adalah hal terbaik yang harus dilakukan. Untung sekarang aku mengerti, tapi sayangnya, aku sudah mulai menjadi bagian dari orang-orang dewasa itu, kurasa aku sudah mulai menjadi tua.
Satu tahun setelah pertemuan terakhir denganmu, Ibu meninggal dunia. Saat itu aku baru kelas 4 SD. Guruku, yang aku tidak ingat namanya, mengantarku ke rumah sakit setelah upacara. Awalnya kukira sedang diantarkan ke final olimpiade matematika karena seminggu sebelumnya aku mencapai hasil memuaskan di semi final. Tapi saat itu aku sampai lupa untuk kecewa karena tidak menyangka bahwa aku akan ditinggalkan selamanya.
Aku menunggu beberapa saat sampai nenek menjemputku yang sedang duduk termenung di ruang tunggu rumah sakit. Nenek menangis, lalu menggendongku masuk ke dalam taksi dan mengajakku pulang. Selama perjalanan, nenek tidak mengucap sepatah kata pun padaku. Matanya terlihat sembab sekali.
Sesampainya di rumah nenek, sudah banyak sekali orang yang berkumpul di sana. Ada yang menangis, ada yang berkaca kaca. Semuanya terlihat sangat asing. Saat itu aku bertanya-tanya apa semua orang itu adalah teman-temannya ibu. Jika temannya banyak, kenapa selama ini ibu terlihat kesepian sekali? Kenapa, Ayah? Apa kamu yang menjauhkan Ibu dari teman temannya? atau ibu yang memang tidak punya waktu untuk bergaul? atau orang-orang itu datang hanya karena kasihan, atau penasaran?
Siapapun itu, aku tidak peduli. Aku hanya mencari cari wajah yang benar-benar familiar bagiku, yaitu kamu, Ayah. Tapi kurasa sekeras apapun aku mencari, aku sama sekali tidak menemukanmu, karena kamu memang tidak datang.
Aku pindah sekolah dan tinggal bersama nenek dan kakek. Tahun itu kuhabiskan dengan mencari teman baru. Kurasa dulu aku adalah anak yang cukup ceria. Berlari ke sana ke sini seakan akan tidak pernah terjadi apa apa. Para guru menyukaiku karena aku pandai di semua pelajaran sekolah. Aku juga punya cukup banyak teman, walau aku tidak ingat satu pun nama diantara mereka.
Setelah lulus dari SD, aku menjalani masa SMP yang sangat sangat biasa saja. Pelajaran sekolah membuatku bosan. Para guru di sana juga tidak terlalu membuatku bersemangat. Tidak ada tantangan, tidak ada halangan, tidak ada yang istimewa. Aku mendapat peringkat pertama di setiap semester, tapi aku justru merasa seperti tidak mendapat apa apa. Saat itu keinginanku adalah meninggalkan kehidupan membosankan itu dan pindah ke kota yang lebih ramai dan menantang. Aku membicarakannya dengan nenek dan akhirnya aku diizinkan untuk pindah ke kota, tinggal bersama paman dan bibi di sana.
Sepertinya Tuhan mengabulkan permintaanku. Aku diterima di sekolah favorit yang penuh dengan anak-anak pintar dan kaya raya. Lalu tebak apa yang paling mencengangkan? Aku benar benar ditempatkan dalam posisi yang penuh tantangan.
Teriakan mengejek selalu terdengar setiap aku masuk kelas. Mereka menyebutku “Si Anak Kampung”, beberapa lagi bilang aku anak yang menyedihkan dan tidak tahu diri. Kamu tahu? Bahkan mereka sama sekali tidak mengenalku. Mengobrol saja belum pernah. Pernah suatu hari beberapa anak mendekatiku lalu bertanya, “kamu mau tahu alasan kami membenci kamu? Jawabannya, tidak ada alasan. Itu semua karena kamu pantas dibenci. Itu saja.” Lalu mereka meninggalkan aku sambil tertawa. Setelah mendengar itu aku meringis sedikit, baru sadar kalau aku sebenarnya sama sekali tidak penasaran. Aku sempat punya teman, tapi dia juga menjadi bahan ledekan setelah mengenal aku, jadi aku memutuskan untuk meninggalkannya.
Kehidupan di rumah juga tidak kalah menantang, walaupun kuakui lebih menantang ketika tinggal bersama kamu dan ibu. Entah apa yang paman dan bibi pikirkan tentang aku. Awalnya kukira mereka benar-benar menganggapku sebagai anak mereka. Mereka mendidikku dengan kasih sayang yang mungkin sama dengan yang mereka berikan pada anak-anaknya. Tapi mungkin aku terlalu berpikiran positif tentang itu, sampai akhirnya aku sadar kalau makanan yang aku makan adalah sisa makanan mereka. Tempat tidur yang aku pakai adalah gudang tempat mereka menyimpan barang yang sudah tidak terpakai. Dan perlakuan mereka padaku sama dengan perlakuan orang orang kota kepada pembantu rumah tangganya. Dulu aku masih agak bodoh soal itu karena sebelumnya belum pernah merasakan punya pembantu rumah tangga, Ayah.
Tapi belum sampai disitu, suatu hari aku pernah mendengar paman menelepon nenek dan bertanya apakah nenek menyimpan tabungan untukku, atau apapun yang pernah ditinggalkan ibu untukku. Aku sudah jamin bahwa nenek menjawab tidak ada karena setelah itu perlakuan paman dan bibi semakin buruk terhadapku.
Aku berharap waktu cepat berlalu agar aku bisa cepat cepat menjadi orang dewasa. Kuabaikan semua orang dan hanya fokus belajar. Awalnya mengabaikan adalah hal sulit. Tapi ketika kita mencobanya terus, ternyata kita juga bisa terbiasa.
Mungkin cukup sampai situ dulu aku menceritakan kisah hidupku. Setidaknya kamu bisa lebih mengenal aku setelah membacanya. Lagipula aku menulis surat ini untuk mengenalkanmu pada temanku Allan. Maka aku akan mulai menceritakannya lagi.
BAGIAN
Sambutan penulis untuk calon pembaca yang budiman.
Ketika bertemu cinta yang sebenarnya; Manusia akan merasakan tenang dan bahagia.
Ngomong ngomong tentang aku, seberapa banyak yang kamu tau?
“Punya keluarga belum tentu punya siapa siapa,”
Setelah itu baru aku sadar bahwa dunia terlihat sangat menakutkan ketika kita benar-benar sendirian.
“Kita sama sama meluangkan waktu untuk bersiap dan merias diri, lalu sama sama meluangkan waktu untuk pergi kesini. Tindakan kita memiliki arti.”
“Aku tidak percaya cinta,” Ya, sama.
Manusia kadang merasa kecil. Merasa tidak ada hal yang diketahuinya. Merasa jauh dengan dunianya. Merasa bukan siapa siapa, dan tidak punya siapa siapa.
“Aku lebih suka kita berteman, teman akan saling menyayangi karena ingin begitu, bukan harus begitu. Kita memilih untuk menjadi teman.”
“Ya, karena hidup memang tidak adil untuk beberapa manusia.”
Mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa ada begitu banyak hal indah di dunia.
“Tapi yang paling aku pahami dari semua itu adalah: Aku bertumbuh.”
Padahal, tidak usah bertanya, karena aku sudah tahu jawaban lelaki itu pasti, aku baik-baik saja kok. Padahal, tidak usah bertanya, karena sebenarnya aku tahu kalau lelaki itu tidak begitu baik-baik saja.
“Aku adalah Ratu Merah yang sudah dikalahkan dunia, dan kamu adalah Aliceku.”
Untuk; Allan