Untuk, Ayah – 11. Menulis

Ayah, kamu mungkin tahu kalau aku suka menulis, sama sepertimu (sesuai yang ibu pernah ceritakan). Aku menulis banyak sekali kisah bahkan sejak usiaku tujuh tahun. Walau semua pada akhirnya aku simpan sendiri, tapi aku senang menciptakan dunia-dunia baru yang hanya ada di kepala kecil ini.

Buatku, tulisan adalah air mata. Seperti yang kamu tahu, menangis bukan kebiasaanku, karena itu aku tinggalkan. Ketika melewati hari yang berat, (beberapa orang sering mengalaminya, termasuk aku) aku akan meluangkan waktu malam untuk membuka buku catatan dan menulis hal-hal bodoh yang aku alami seharian. Menyenangkan walau kadang tidak terlalu membantu. Lagipula, mau bagaimana lagi? Toh aku tidak punya teman.

Semenjak aku kenal Allan, perlahan yang aku tulis tiap malam hanya tentang lelaki itu. Bagaimana dia bergurau, bagaimana dia tersenyum, hal-hal yang disukai dan yang tidak dia sukai. Kepalaku terlalu penuh untuk mengingat ngingat tentang dia. Maka aku menulisnya, takut kalau nanti akan lupa.

Pernah suatu waktu buku catatanku tertinggal di taman. Aku sadar sewaktu sudah hampir sampai rumah. Ketika itu aku berlari kencang sekali untuk kembali. Takut kalau kalau ada orang yang membuangnya ke tempat sampah.

Sesampainya di taman, aku mendapati Allan yang sedang duduk di kursi yang tadi aku tempati. Dia menoleh ke arahku, lalu melambaikan tangan dan menyuruhku duduk. Kulihat dia sedang menggenggam buku catatanku. Awalnya kukira dia sama sekali tidak membacanya karena dia itu cuek sekali. Tapi seperti manusia-manusia lainnya, Allan mungkin tidak secuek itu, dia juga bisa penasaran akan sesuatu, dan akhirnya aku tahu bahwa dia membaca sedikit tulisanku. Mungkin tidak sedikit, malah.

Dia menyerahkan buku catatan itu, “Aku tidak percaya cinta, Gill. Tidak lagi. Kamu juga tahu.”

Aku tidak menjawabnya. Masih terlalu kaget karena ketahuan diam-diam  mencintainya. “Sebaiknya kamu tidak berharap. Karena aku sama sekali tidak tertarik.” Nada bicaranya tenang sekali, tapi menusuk. Saat itu dia tersenyum padaku sambil berkata, “jika kamu masih ingin menyimpan harapan itu, sebaiknya kamu pergi. Tidak terlambat kalau sekarang. Aku akan baik-baik.”

“AKU YANG TIDAK AKAN BAIK-BAIK, ALLAN.” Dalam hati aku berteriak, sayang mulutku justru tidak bergerak.

“Tapi aku tahu kalau kamu yang tidak akan baik-baik saja. Jadi tetaplah disini dan buang harapan itu.” Dia seperti bisa mendengar teriakan dalam hatiku. “Kamu perempuan, dan aku adalah temanmu, jadi aku harus menjagamu. Nanti, kuyakin ada saatnya kita berpisah, namun aku pun tidak mau kalau sekarang, Gill. Kuharap kamu bisa mengerti.”

Pada akhirnya rasa tanggung jawabnya lah yang membuatnya tetap disampingku. “Manusia tidak perlu berusaha terlalu keras agar dicintai,” dia mengeryitkan dahi “tidak ada gunanya.”

Aku tidak mengerti ditujukan untuk siapa kalimat terakhir yang dia katakan itu. Tapi ayah, aku ditolak bahkan sebelum menyatakan perasaanku.

  “Omong-omong, Gill, aku juga banyak menulis sejak kecil. Sebenarnya, menulis adalah kegiatan yang menyulitkan untukku karena aku jarang bicara. Menulis itu seperti kita sedang mengatakan sesuatu. Kadang ada hal-hal yang justru penting tertinggal di dalam hati, dan aku malah menuliskan sesuatu yang bahkan tidak penting sama sekali.”

Jujur, aku sedang tidak ingin mendengarnya bercerita, tapi aku tetap dengarkan.

“Walaupun begitu, aku selalu mencobanya: mengeluarkan sesuatu yang ada di dalam hati. Beberapa tulisan masih aku simpan sampai sekarang. Sampai tadi malam, aku menyempatkan diri untuk membaca tulisanku di masa lalu. Beberapa membuat aku tertawa, beberapa membuat aku merasa pilu dan beberapa lagi membuat aku terheran lalu merasa bahwa yang menulis bukanlah aku. Tapi yang paling aku pahami dari semua itu adalah: Aku bertumbuh.”

“Ya,” jawabku seadanya.

“Maksudku, Gill, di masa depan, kamu mungkin akan tertawa, atau bisa jadi merasa sedih karena tulisanmu saat ini. Dan kurasa juga kamu sudah melakukan itu untuk tulisanmu di masa lalu. Kamu tahu? Rasanya seperti sedang mengenang sesuatu, bedanya, ini lebih akurat. Yah, seperti yang kamu tahu, pikiran memang kadang menipu. Tapi yang terpenting, seperti yang aku bilang, kita akan sadar bahwa kita bertumbuh. Itu yang membuat masa kini terasa berharga.”

“Kata-kata yang hanya bisa ditulis tanpa diucapkan hanya akan jadi sampah suatu saat nanti, ngomong-ngomong,” aku mengatakannya dengan nada yang terdengar kesal.

“Aku tahu, tidak semua orang akan membaca tulisan kita. Tapi tulisan adalah bentuk keberanian. Menulis adalah cara untuk merekam perasaan, daripada bicara, lalu pura-pura lupa, aku lebih suka kepada semua orang yang suka menulis.”

“Mungkin itu benar. Tapi menurutku, tanpa diucapkan, tulisan kita bukan apa-apa.”

“Ada seribu jalan menuju roma..”

Aku tahu dia hanya sedang menghibur aku yang baru saja ditolak. Dia selalu tahu bagaimana cara menyenangkan hati orang lain. Dia membuat aku tidak ingat bahwa sebelumnya, dia mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan bagiku. 

Ayah, aku jadi penasaran, apa saat bersama ibu, kamu masih terus menyayanginya? Maksudku, berapa batas waktu manusia bisa mencintai orang yang sama. Aku selalu bertanya, apa perasaan ini akan bertahan selamanya? Apa aku akan selalu mencintai Allan? Apa aku tidak akan bisa memberikan hatiku pada orang lainnya? Kuharap aku akan mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini suatu hari nanti. Kuharap ada hari dimana aku bisa mengerti.

BAGIAN

Sambutan penulis untuk calon pembaca yang budiman.

Baca Selanjutnya

Ketika bertemu cinta yang sebenarnya; Manusia akan merasakan tenang dan bahagia.

Baca Selanjutnya

Ngomong ngomong tentang aku, seberapa banyak yang kamu tau?

Baca Selanjutnya

“Punya keluarga belum tentu punya siapa siapa,”

Baca Selanjutnya

Setelah itu baru aku sadar bahwa dunia terlihat sangat menakutkan ketika kita benar-benar sendirian.

Baca Selanjutnya

“Kita sama sama meluangkan waktu untuk bersiap dan merias diri, lalu sama sama meluangkan waktu untuk pergi kesini. Tindakan kita memiliki arti.”

Baca Selanjutnya

 “Aku tidak percaya cinta,” Ya, sama.

Baca Selanjutnya

Manusia kadang merasa kecil. Merasa tidak ada hal yang diketahuinya. Merasa jauh dengan dunianya. Merasa bukan siapa siapa, dan tidak punya siapa siapa.

Baca Selanjutnya

“Aku lebih suka kita berteman, teman akan saling menyayangi karena ingin begitu, bukan harus begitu. Kita memilih untuk menjadi teman.”

Baca Selanjutnya

“Ya, karena hidup memang tidak adil untuk beberapa manusia.”

Baca Selanjutnya

Mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa ada begitu banyak hal indah di dunia.

Baca Selanjutnya

“Tapi yang paling aku pahami dari semua itu adalah: Aku bertumbuh.”

Baca Selanjutnya

Padahal, tidak usah bertanya, karena aku sudah tahu jawaban lelaki itu pasti, aku baik-baik saja kok. Padahal, tidak usah bertanya, karena sebenarnya aku tahu kalau lelaki itu tidak begitu baik-baik saja.

Baca Selanjutnya

“Aku adalah Ratu Merah yang sudah dikalahkan dunia, dan kamu adalah Aliceku.”

Baca Selanjutnya