Ketika bertemu cinta yang sebenarnya;
Manusia akan merasakan tenang dan bahagia.
***
Untuk Ayahku;
Tidak pernah selama hidupku aku berani menceritakan tentang temanku padamu. Bukan apa-apa, aku hanya malu karena selama hidupku aku tidak pernah benar-benar mengenalmu. Tapi kali ini aku akan membuat pengecualian.
Tahun 2016 mungkin akan menjadi tahun yang sangat berarti untukku. Di tahun itu, sekitar bulan Juni sampai Agustus, aku mulai mengenal orang yang mungkin akan aku cintai selamanya. Saat aku menulis ini, orang itu sedang tidak di sampingku. Dia pergi sejak tahun lalu, dan lima bulan lalu dia menghubungiku untuk memberi kalimat perpisahan, lalu aku dapat kabar tadi pagi kalau dia memang tidak akan kembali.
Namanya Allan, seorang lelaki. Dia tidak begitu tampan, kulitnya sawo matang, wajahnya seperti orang baik, begitu pula sikapnya (yang akan aku ceritakan nanti sedikit-sedikit), punya tangan besar, pipi yang sedikit tirus, dan badan yang agak kurus. Kalau kamu tanya padaku apa yang dia suka, aku pasti akan menjawab bahwa dia suka bercanda. Dia selalu membuat lelucon yang tidak lucu. Aku tidak tahu apakah orang lain akan tahan atau tidak jika mendengarnya. Kadang aku juga kesal. Tapi aku tahu dia jarang bicara, maka aku harus menanggapi semua leluconnya. Kalau tidak, dia mungkin tidak akan pernah bicara lagi.
Terkadang, aku merasa mengenalnya adalah sebuah kesalahan. Di lain waktu, aku merasa yakin kalau bersamanya adalah sebuah ujian. Tapi kadangkala juga, terasa seperti keberuntungan. Pernah kukira hidupku hanyalah sebuah kisah fana yang akan membuatku bosan. Tapi semua berubah, ketika aku benar-benar mulai mengenalnya.
Aku dan Allan bertemu di pinggir danau saat musim kemarau lima tahun lalu. Saat itu aku sedang memainkan korek api yang kubeli dari warung di seberang restoran tempatku bekerja sambil meniup niupnya sesekali. “Selamat ulang tahun,” sapa Allan pertama kali.
Aku terkejut bukan main. Korek itu terlepas dari tangan dan langsung kutengokkan wajah ke arah Allan. Memperhatikan lelaki itu tersenyum. “Ini, aku punya sepotong roti yang aku beli tadi pagi,” kata Allan selanjutnya, sambil menyodorkan sepotong roti kotak yang dibungkus plastik. “Ayo kita rayakan ulang tahun sama sama.”
Aku masih menatapnya curiga. Bertanya siapa dia dengan nada yang agak ketus. “Perkenalkan aku Allan,” dia menyimpan roti itu di sampingku, lalu mengulurkan tangannya; minta bersalaman. “Siapa namamu?”
Saat itu aku jahat sekali. Aku tidak menerima uluran tangannya dan malah berkata, “ini bukan ulang tahunku.” Alih alih memberitahu namaku padanya.
“Tidak apa, ini ulang tahunku. Ayo kita rayakan ulang tahun sama-sama.” Tidak lama setelah mengucapkan itu, dia berlari ke minimarket seberang jalan, membeli dua buah lilin ukuran sedang, dan kembali lagi saat aku bahkan belum sempat melangkahkan kaki untuk pergi. “Selamat ulang tahun.”
Dia melontarkan beberapa pertanyaan, hanya sedikit yang kujawab sungguh-sungguh. Ayolah, Ayah. Siapa yang tidak akan menganggapnya aneh? Masih untung aku mau mendengar celotehannya.
Waktu itu aku mengira usianya sama denganku. Ternyata lebih tua empat tahun. Aku sempat bertanya apa dia memang pernah mengenal aku di masa lalu, katanya iya. Tapi apa kamu tahu apa yang dia maksud tentang ‘mengenal aku di masa lalu’? Artinya; dia bekerja sebagai barista di kafe sebelah minimarket seberang jalan itu, kebetulan melihatku duduk sendirian di sana tiga hari sebelumnya, melihat aku lagi keesokan harinya, besoknya sama lagi, dan akhirnya hari di mana dia menyapaku. Apa itu benar-benar bisa dibilang ‘mengenal’, Ayah?
“Aku pandai meracik kopi,” katanya. “Kamu bisa mampir sekali-kali, aku kasih gratis.”
“Terima kasih, tapi aku tidak tertarik dengan kopi atau apalah itu. Aku lebih suka di sini,” jawabku.
“Bagus kalau begitu, aku juga suka di sini.”
Setelah dia mengatakan itu, sepertinya kami mengobrol sebentar sampai akhirnya dia yang duluan pergi karena harus kembali bekerja. Ah, entahlah, sebenarnya aku sudah tidak begitu ingat. Yang kuingat adalah, keesokan harinya, entah kenapa, aku malah lagi-lagi memilih tempat duduk yang sama, di bawah pohon rindang yang langsung menghadap ke danau, juga membelakangi kafe lelaki itu. Di jam yang sama, dia menghampiriku lagi, “mau rayakan ulang tahun sama sama lagi?”
“Tidak, terima kasih. Aku tidak suka cepat tua.”
“Ternyata kamu bisa bercanda juga,” jawabnya sambil meringis. Walau rasanya aneh dan sedikit risih, kurasa agak menyenangkan bisa diajak bicara dengan orang yang sama sekali tidak mengenal kita. Mungkin itu alasannya.
Begitulah kami berkenalan. Tidak perlu terlalu kecewa. Pertemuan pertama memang kadang menyebalkan dan berlalu begitu saja. Tapi ini berarti untukku, dan kamu juga perlu tahu, mungkin ini salah satu cara agar kamu bisa lebih mengenalku.
BAGIAN
Sambutan penulis untuk calon pembaca yang budiman.
Ketika bertemu cinta yang sebenarnya; Manusia akan merasakan tenang dan bahagia.
Ngomong ngomong tentang aku, seberapa banyak yang kamu tau?
“Punya keluarga belum tentu punya siapa siapa,”
Setelah itu baru aku sadar bahwa dunia terlihat sangat menakutkan ketika kita benar-benar sendirian.
“Kita sama sama meluangkan waktu untuk bersiap dan merias diri, lalu sama sama meluangkan waktu untuk pergi kesini. Tindakan kita memiliki arti.”
“Aku tidak percaya cinta,” Ya, sama.
Manusia kadang merasa kecil. Merasa tidak ada hal yang diketahuinya. Merasa jauh dengan dunianya. Merasa bukan siapa siapa, dan tidak punya siapa siapa.
“Aku lebih suka kita berteman, teman akan saling menyayangi karena ingin begitu, bukan harus begitu. Kita memilih untuk menjadi teman.”
“Ya, karena hidup memang tidak adil untuk beberapa manusia.”
Mengapa aku tidak tahu sebelumnya, bahwa ada begitu banyak hal indah di dunia.
“Tapi yang paling aku pahami dari semua itu adalah: Aku bertumbuh.”
Padahal, tidak usah bertanya, karena aku sudah tahu jawaban lelaki itu pasti, aku baik-baik saja kok. Padahal, tidak usah bertanya, karena sebenarnya aku tahu kalau lelaki itu tidak begitu baik-baik saja.
“Aku adalah Ratu Merah yang sudah dikalahkan dunia, dan kamu adalah Aliceku.”
Untuk; Allan