Lost

Lost

Sebenarnya aku benar benar berusaha untuk tidak peduli. Tapi dilupakan itu menyakitkan, kan.

**

Jalanan California tidak pernah sepi walau hari sudah sangat larut. Mobil-mobil dan lampu-lampu dari gedung-gedung pencakar langit itu membuat beberapa orang tidak bisa tidur. Kadang juga ada kembang api. Dan itu sangat berisik.

Kadang aku juga tak bisa tidur, biasanya karena aku memikirkan apa yang harus kulakukan pada orang itu. Tapi mobil dan lampu juga bisa jadi alasan, lagipula.

Malam-malam hanya kupakai untuk mengingat Jun. Sesekali juga mengingat tugas tugas sekolah yang belum kukerjakan, dan aku akan mulai mengerjakan tugas itu, dan setelah selesai, aku malah mengingat Jun lagi.

Aku ingat saat pertama kali bertemu dengannya, dia tak lebih dari tetangga yang menyebalkan. Tapi dia begitu lugu dan pintar. Dia mengajariku banyak hal. Dia baik. Dan dia.. Suka bernyanyi.

“Kau hanya harus menguasai rumus fisika Ree, bernyanyi adalah spesialisku” dia berkata itu suatu saat di musim panas.

“Tapi aku ingin, bernyanyi denganmu”

Dia tertawa, keras sekali. Bukan tertawa meledek, aku tau itu bukan. Karena saat itu aku juga ikut tertawa terpingkal-pingkal. Sama kerasnya dengan dia.

Anak anak di sekolah menggerutu, kadang meledek juga. Kami tidak peduli sih. Memangnya siapa mereka.

Sejak dulu memang kami tidak begitu disukai di sini. Entah karena apa. Mungkin karena kami orang berkulit kuning yang tinggal di kalangan orang berkulit putih dan mata bulat, entahlah, aku memang tidak begitu peduli dengan tempat tinggal, dan aku punya Jun kan. Yang pasti kami hanya menganggapnya angin lalu.

Aku ingat bagaimana kami berlari menaiki tangga untuk sampai di atap sekolah. Makan siang bersama. Dia selalu bernyanyi. Dimanapun, kapanpun. Baik itu hanya berupa senandungan dengan volume sangat kecil. Tapi aku suka, sangat.

Dia juga pernah mengutarakan perasaannya padaku, itu terjadi sekitar 3 tahun lalu, saat kami berusia 15 tahun tepatnya.

“Aku menyukaimu, Ree” wajahnya yang malu malu tertutupi bayangan bunga mawar yang dia sodorkan padaku.

Saat itu aku tertawa, benar benar keras. Aku juga tak tau kenapa, mungkin saat itu aku menganggap perkataannya lelucon. Tapi aku tidak menyesali itu. Karena sehabis itu dia memukul pundakku dan kami malah berlari kejar-kejaran.

“Aku tidak akan pernah melupakan hari ini Ree, tidak akan pernah” dia mendeklarasikannya begitu keras.

“Kau janji?”

“Ya”

“Oke” dan kami tertawa bersama sama.

Kau tau, itu benar-benar indah. Sampai hal itu datang.

Sudah empat sampai lima kali aku melihatnya hanya memegangi kertas soal dihadapannya.

“Kau harus mengerjakan ini, Jun”

“Sudah kubilang aku gak bisa, aku lupa, sungguh”

Aku tidak tau berapa kali dia mengatakan ini, kata ‘lupa’ memang sesuatu yang familiar antara aku dan Jun, sekarang.

Jun memang berubah, karena dia lupa. Dia bukan lagi Jun yang menyebalkan, bukan lagi Jun yang mengenalku dengan baik, bukan lagi Jun yang..ingat. Bahkan hari pertamanya lupa membuatnya bertanya padaku cara menulis. Aku ragu, sepertinya di rumah dia menanyakan cara mandi dan cara sikat gigi pada ayah atau ibu atau kakaknya. Dia memang begitu di hari pertama, selalu ber-apa ini apa itu pada setiap orang yang bersamanya.

“Berapa lama aku sudah mengenalmu, Ree?” tanyanya di hari ke-13 dia lupa.

“Tidak tau, 5 tahun mungkin, atau 4, entahlah” aku berpura pura. Padahal aku ingat.

“Oke, pantas aku merasa kita sangat dekat” dia diam sebentar. “Ceritakan padaku, bagaimana hari itu terjadi. Itu loh, kecelakaanku”

“Kau akan ke Seoul waktu itu”

“Benarkah?”

“Ya, Kau bilang akan melihat-lihat universitas dan semacamnya. Tapi apa, kau sebenarnya hanya akan ikut audisi bernyanyi, Jun. Kau jahat saat itu, kau bohong, padaku”

“Kurasa aku tidak berniat berbohong, yah, perasaanku bilang begitu”

Aku diam. Memang itu bukan masalah serius, kau tau, itu bagus kan, jika Jun-Junhoe yang aku kenal-memang menjadi seorang penyanyi. Tapi karena hari itu terjadi, karena hari itu dia tersenyum padaku dengan gembira dan dia pergi, karena hari itu, dia mengalami kecelakaan dan melupakan segalanya, karena hari itu, aku benci dia bernyanyi. Dan, aku ingat, sore itu langit membiru, hatiku kelabu, dunia membeku. Dia mungkin tak tau rasanya, sudah kubilang, dia jahat.

Dan dia bilang dia tidak akan benyanyi lagi. Padahal hampir setiap hari, aku melihatnya di sana, bernyanyi sangat merdu, sendirian. Mungkin dia berpikir akan menyakiti aku kalau aku mendapatinya sedang bernyanyi, jadi dia tak pernah bilang.

Kalau boleh jujur aku memang merindukan saat saat dia bernyanyi untukku di masa masa dulu. Suaranya, suara seraknya, begitu merdu dan indah. Aku suka itu. Tapi itu juga membuat aku benar benar terluka, sungguh.

Aku merindukan semua itu.

“Ree”

“Apa?” aku bertanya dengan nada biasa saja, berharap dia tidak tau kalau aku sudah memperhatikan wajah kesalnya sejak tadi pagi.

“Aku itu orang goblok atau apa … bahkan mereka lihat aku dengan tatapan, yah kau tau lah; seperti menatap orang yang, supergoblok” dia terlihat merenung, lalu tersenyum sebentar “sebenarnya gak masalah buatku, hanya saja, itu sedikit mengganggu, kadang kadang”

“Itu sudah biasa buatmu kan” aku mencoba mencari manik matanya.

Tidak ada jawaban. Lima atau enam menit berlalu tanpa kata.

“Ree”

“Ya?”

“Kurasa aku ingin pergi” dia terlihat serius sekarang, menatapku. “Yah, aku gak betah di sini, lagipula Seoul bukan tempat yang buruk kan, dan.. Katanya akan ada audisi-” kata katanya menggantung.

“Ah, itu mungkin ide yang bagus, Jun. Pergilah” aku berkata seperti orang bodoh yang menutupi ekspresi terkejutnya. Kenangan masa lalu merambat melalui pikiran-pikiranku. Apa lagi ini? Kenapa harus begini, Jun.

Dia diam sebentar. “Ya, Ree”

“Berjanjilah untuk tidak melupakanku lagi” suaraku amat pelan sampai aku tak tau dia akan dengar atau tidak.

“Aku janji” dan ternyata dia dengar.

Kali ini kau harus benar benar memegang janjimu, Jun.[]

P

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *