We’re Different

We’re Different

Dia Hanbin, aku Seohyeon. Dia seorang bocah, aku seorang gadis. Dia berambut pendek, aku berambut panjang. Dia suka menari, aku suka rumus fisika.

Semua sudah jelas, kami benar-benar berbeda..

**

“Hanbin dan Seohyeon tidak pernah terpisahkan!”

Itu kata hanbin. Dulu. Saat kami baru berumur tujuh tahun. Jari jarinya yang kecil mengelus rambutku ketika aku terjatuh dan menangis saat bermain kejar kejaran. Menepuk nepuk pundakku sambil berkata, “kau kan kakakku, jangan menangis!”

Ayolah, usia kita sama, Hanbin.



“Hanbin, kau harus menguasai tabel perkalian!”

Dia menggeleng gelengkan kepalanya sambil berkata, “tidak tidak, aku tidak suka.” Tapi aku memaksanya. Dia berteriak, “berhenti mengatur hidupku Seohyeon!” Itu teriakan pertama yang dia tujukan padaku. Setelah itu dia menghempaskan bukunya, dan berlari ke luar rumah.

Ayolah, guru matematika kita tidak sebaik yang kamu kira, Hanbin.



“Hanbin, ayo kita main!”

Aku menyapanya suatu hari saat dia keluar rumahnya pada awal musim panas. Kuharap dia membawa bolanya waktu itu, karena udaranya benar-benar sedang bagus untuk bermain di taman, tapi yang kulihat hanya tangan yang membawa tas ransel. “Mau kemana kamu?” tanyaku penasaran.

Kukira dia membawa makanan ringan yang dibekali oleh ibunya untuk dimakan bersama denganku. Dengan wajah tertunduk kebawah, dia menjawab, “ibuku menyuruh aku latihan menari. Hari ini aku tidak bisa main dulu. Mungkin besok. Maaf, Seohyeon.”

Ayolah, tidak usah merasa bersalah begitu, aku mengerti kok, Hanbin.



Besok tidak pernah ada di musim panas tahun itu untuk kami berdua. Setiap jam sembilan pagi aku menunggu bocah itu keluar rumahnya, yah, mungkin saja akan ada keajaiban untukku agar bisa bermain dengannya. Nyatanya keajaiban tidak pernah datang. Hanbin selalu keluar rumah bersama ibunya, masih sambil membawa tas ransel yang sama, masuk ke mobil dan pergi tanpa menyapaku sedikitpun.

Aku kesal, tak tau lah aku kesal pada Hanbin atau malah pada Nyonya Kim. Yang pasti aku kesal dan tidak pernah menunggunya lagi. Tidak pernah datang ke depan rumahnya dan menengok-nengok ke dalam seperti pencuri. Itu bagus buatku, aku jadi rajin belajar, ayahku membelikan buku-buku bagus untukku, dan aku menyukainya. Aku tidak pernah memikirkan Hanbin lagi sampai musim panas berakhir dan kulihat rumah mungilnya kosong di awal tahun ajaran baru. Ibuku bilang keluarga Kim pindah ke Seoul. Dan aku menyalahkan semua orang atas ketidaktahuanku. Aku menyalahkan ibu, dan ayah, dan juga Hanbin, bahkan diriku sendiri.

Ayolah, aku ingin kita berangkat ke sekolah bersama, Hanbin.



Tak pernah ada yang tahu bagaimana waktu akan berlalu. Saat itu kurasa aku tidak akan terlalu terpengaruh oleh kepergiannya, aku kira aku akan baik-baik saja, punya teman baru, lalu segera melupakannya. Nyatanya kehilangan teman tidak semudah itu. Nyatanya, aku benar merindukannya.

**

Aku bukan penikmat musik, tapi aku langsung menyambar ponsel dan masuk ke situs musik saat temanku menyebut sebuah nama yang kukenal, “aku senang hari ini! Kamu lihat, Seohyeon. Akhirnya Hanbinku melakukan debutnya!”

Hanbin.

Kim Hanbin.

Hanbin yang dulu kukenal sekarang sudah tidak seperti bocah umur sebelas tahun. Dia terlihat lebih dewasa. Dia terlihat lebih berkarisma. Dan dia tampan. Tidak pernah kusangka bocah kecil ingusan yang suka meledekku akan bermetamorfosis menjadi seorang lelaki seperti itu. Tapi aku senang, dia Hanbin yang kukenal—walau tidak bisa dipastikan dia akan mengenalku sekarang, aku juga sudah banyak berubah. Tidak ada lagi alasan untukku merindukannya.

Ayolah, aku juga harus beristirahat dari rutinitas merindukanmu kan, Hanbin. 

Sampai jumpa!

**

Aku Seohyeon, dia Hanbin. Aku seorang gadis, dia seorang bocah. Aku berambut panjang dia berambut pendek. Aku suka rumus fisika, dia suka menari.

Sudah kubilang kan, kami sangat berbeda.[]

©P August 23th 2016

(Also published in Line Official Account iKONIC VWENG)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *