Fifty Days

Fifty Days

Limapuluh hari sebelum kematianku, dia bilang, “Aku sekarat-” padahal, dia sudah tau, aku sekarat lebih dulu. Bahkan dari berbulan bulan sebelumnya, atau bahkan setahun.

**

Dia jahat, memang. Selama hidupku, dia hanya mengacau saja. Berbicara hal hal yang tidak kumengerti, sungguh. Aku lelah sekali. Tapi mau bagaimana pun, aku yang sekarat lebih dulu.

“Aku sekarat, Karen! Kau tau itu,” aku membentaknya suatu pagi di awal bulan Januari.

“Bagaimana dengan Hammie, atau Ree, atau Wheetney, mereka akan sangat sedih” dia bahkan tidak mendengarku, “Bagaimana ini, mereka pasti akan merindukanku,” matanya kelihatan cemas. Aku bingung kenapa dia bisa begitu membuatku luluh hanya dengan melihat mata itu.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Karen. Kita sekarat-” aku berusaha tenang kembali. Dan tidak ada jawaban apa pun.

Satu hari, dua hari, tiga hari, tidak ada kabar darinya. Dia, hilang. Ragaku tidak berusaha mencarinya, tapi hatiku, terus bertanya.

Kabar kabar buruk tentang bom nuklir hilir mudik, tidak terlalu kupikirkan, jujur saja. Tujuhpuluh persen pikiranku tertuju pada Karen, duapuluh persen tertuju pada fakta aku sekarat, dan sisanya, bom nuklir.

**

Surat surat bertumpuk menjadi satu di depan pintu rumah, tidak pernah ingin kulihat, toh aku sedang sekarat. Tapi sebuah bingkisan merah muda:warna kesukaan Karen- menarik perhatianku. Tak ada tulisan apapun di bingkisan itu. Isinya, sebuah buku dengan tokoh utama seorang gadis kecil bernama Ree. Sampulnya menunjukan gambaran kartun Ree yang ceria, lucu. Karen pasti kembali, pikirku.

Nyatanya tidak. Dia hilang, selamanya. Aku tak tau lagi. Aku bertanya pada ayah, dan ibu, dan nenekku di ladang, dan paman. Tapi tak ada yang tau dimana Karen. Mereka hanya bilang, “sudahlah, aku sibuk!” jadi aku tak pernah bertanya lagi.

Dan seperti yang kau tau, tak ada yang bisa kulakukan, tak ada yang orang lain bisa lakukan. Orang orang hanya berharap bom nuklir tidak meledak saat malam tiba. Hanya itu. Mereka, termasuk aku, tidak akan memikirkan Hammie si hamster, Ree si gadis kecil dalam buku, dan Wheetney, teman baik Ree. Hanya dia yang peduli, walau itu sedikit menggangguku, jujur saja.

Hari berganti hari, ini sudah dua minggu setelah Karen menghilang. Lama lama aku jadi sepertinya. Mengisi sisa waktu hidupku bersama Ree. Aku senang, Ree selalu mengingatkanku pada Karen. Dia lucu, manis, dan sering tertawa. Kadang aku juga bertemu dengan Wheetney, atau temannya Wheetney. Ree mempunyai begitu banyak teman, Karen tidak memberitahuku, jadi aku malu karena tidak mengenal mereka. Untung mereka semua baik.

“Kau harus melupakannya, dia sudah pergi” kata ibuku. Aku mendongak, ingin menangis, tapi kutahan. Suara suara burung tidak pernah terdengar lagi. Warna warni di mataku tidak pernah terlihat lagi. Ibuku benar, Karen pergi.

Limapuluh hari setelah Karen bilang dia sekarat, aku bisa melihat Karen lagi. Aku melihatnya berdiri di samping ibuku, mengintip ke bawah sebentar, menatapku, lalu tersenyum. Sepertinya dia sudah tidak sekarat lagi, dia kelihatan bahagia. Tangan kanannya menggenggam tangan Ree si gadis kecil dan tangan kirinya membawa kandang Hammie si hamster.

Setelah itu, aku mati.

P

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *