Menikah

“Ingat pertanyaanmu ketika di alun alun waktu itu?” “Kamu bertanya padaku apa aku ingin menikah atau tidak.”

“Hm.”

“Masih ingat jawabanku?”

“Ya.” “Kamu bilang kamu tidak tahu, dan tidak terlalu memikirkan itu. Kamu bilang contoh yang kamu lihat selalu buruk makanya kamu tidak percaya akan pernikahan lagi.”

“Ya.” “Dan sekarang jawabanku berbeda.”

Aku menatapnya lekat lekat.

“Sekarang aku merasa, aku memang harus menikah. Kamu tahu kenapa? Aku boleh saja kecewa dengan pernikahan ayah dan ibu. Tapi aku harus menutupi kekecewaan itu dan harus membuat ibuku bangga. Aku sakit, adikku juga pasti. Tapi aku baru menyadari bahwa ibuku pasti lebih sakit lagi. Dan dia menutupinya selama bertahun tahun tanpa boleh kami tahu.”

“Ya.”

“Dan kamu tahu alasan lainnya? Aku ingin ibuku punya lebih banyak lagi keluarga. Aku bisa bayangkan betapa kesepiannya ibu selama ini. Dia membesarkan adik adikku seorang diri dan selama bersama ayahku pun, dia tidak punya waktu lain selain mengikuti ayahku ke mana mana. Sungguh menyedihkan.”

“Ya.”

“Alasan ketiga, aku ingin ada yang bertanggung jawab atas ibuku. Bukan masalah finansial atau membiayai hidup ibuku atau semacamnya, tapi aku ingin ada orang lain selain aku dan adikku yang bertanggung jawab untuk mengunjungi ibuku, tertawa bersamanya, dan menceritakan cerita lucu padanya. Pasti rasanya menyenangkan juga.”

“Ya.”

“Ya, karena semua orang akan menua.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *