Menangis di jalan pulang.
Sepanjang malam aku memikirkan kalimat tersebut. Kukira aku memikirkannya karena sedang menggebu gebu ingin menulis tentang perjalanan pulang tadi sore. Perjalanan pulang yang kutempuh biasanya menyenangkan, tapi tadi aku sedang ingin menangis. Aku menangis sepanjang perjalanan.
Menangis di jalan pulang.
Penasaran karena merasa pernah mendengar kalimat itu entah dimana, aku mencoba mencarinya. Aku meringis sedikit setelah sadar kalau kalimat itu adalah judul lagu dari penyanyi yang tidak begitu aku suka.
Menangis di jalan pulang.
Aku tidak pernah coba putar lagu itu sebelumnya, tapi kali ini aku penasaran. Aku mendengarkannya sambil menulis tulisan ini. Jujur, aku sama sekali tidak mendengar liriknya. Yang aku nikmati hanya musiknya, bukan karena suara penyanyinya tidak jelas, sih. Itu hanya karena aku fokus dengan tulisanku.
Menangis di jalan pulang.
Lagunya memang sudah selesai, tapi tulisannya tetap aku lanjutkan. Banyak sekali rasanya yang ingin aku tuliskan setelah beberapa hari melewati hari yang berat. Sudah hampir setahun aku bisa tahan, tapi lama lama, ternyata manusia butuh menangis juga.
Aku membawa kebohongan yang akhirnya jadi kenyataan. Katanya, tidak apa manusia berbohong sedikit, apalagi demi kebahagiaan orang lain. Sayangnya aku sudah tidak setuju lagi. Pada akhirnya, kebohongan akan membawamu pada kesengsaraan.
Kalau dilihat, benar sudah lebih dari setahun. Aku kuatkan diri untuk menjadi kuat, untuk menjadi semangat, untuk mencoba menertawakan hal hal yang dulu tidak pernah aku tertawakan.
“Orang lain boleh, kamu jangan,” kata diriku sendiri, “karena kamu pernah merasakan. Bukan pernah malah, tapi sedang. Kamu sedang merasakannya. Maka kamu tidak boleh tertawa.”
Karena itu yang kulakukan tadi sore bukan lagi tertawa, tapi menangis.
Menangis di jalan pulang, apa jalanku masih panjang?