Hujan turun dari pagi. Aku menggerutu dalam hati karena niat untuk bahagia diganggu oleh hujan yang tak juga berhenti. “Hujan itu indah,” kata seorang gadis yang pernah kukenal. Sayangnya aku masih tidak setuju. Hujan itu kotor, basah, dan… membuat rindu.
Karena malas untuk berbasah-basah, aku memutuskan untuk menunggu sebentar lagi. Kuperhatikan burung-burung yang berteduh di teras rumah. Mereka bercicit, saling bercerita. Andai aku paham, pasti sudah kuhampiri dan mengobrol agar tidak kesepian.
Ngomong-ngomong, dulu aku bukan orang yang suka mengobrol. Tidak suka menongkrong hingga larut malam dengan teman-teman, tidak suka melakukan hal-hal manis, tidak suka bergaul, apalagi melucu. Sampai akhirnya setahun lalu gadis itu datang tanpa tahu aturan.
“Mau pakai payungku?” adalah pertanyaan pertama yang dia lontarkan saat aku menunggu hujan reda di depan kantor. Aku menolaknya dengan halus karena kukira dia sedang mengajakku berbagi payung.
Aku tidak punya energi untuk mengenal orang baru lagi, adalah motto hidupku saat itu.
Alih-alih memakai payungnya sendirian, dia malah menyodorkannya ke tanganku dan berlari ke arah hujan sambil tertawa dan berlari pergi.
Seolah-olah wajahnya yang cantik memperbolehkannya untuk berbuat seperti itu pada siapapun -bahkan orang yang belum dikenalnya.
Keesokan harinya, aku tidak melihatnya sama sekali. Karena penasaran dengan sosoknya, ditambah dengan alasan mengembalikan payung, aku coba menanyakan gadis itu ke teman kantor.
“Ah masa sih lo enggak tahu? Dia Bunga, dari marketing.”
Bunga, nama yang selalu dimiliki perempuan perempuan cantik di Indonesia. Aku tidak mengerti, padahal Bunga tidak selalu indah, dan mati dengan cepat, tapi kenapa para orang tua bangga sekali menamakan anak perempuan mereka dengan kata itu. Untung mereka benar tumbuh menjadi perempuan cantik (dan beberapa berumur panjang), kalau tidak..
“Tumben banget lo tanya soal cewek. Cinta pada pandangan pertama, ya? Haha. Emang sih dia cantik banget.”
“Mau balikin payung,” karena takut ditanya lebih lanjut, aku menambahkan, “kemarin dia bawa dua, gue pinjem.”
Ternyata dia memang tidak masuk kantor di hari itu, sakit, kalau kata temanku -yang tiba-tiba bisa tahu kabarnya selang beberapa menit dari aku bertanya. Yah, aku agak menyesal sudah bertanya karena membuat dia salah paham dan mengira aku tertarik dengan Bunga, tapi setidaknya, aku jadi tahu namanya.
Waktu berlalu, butuh waktu seminggu sampai akhirnya aku bisa bertemu Bunga.
“Lo sakitnya lama juga ya.” Bukannya bertanya dia sakit apa sampai harus istirahat satu minggu, aku malah melontarkan kalimat yang agak ketus pada gadis yang bahkan aku tidak kenal. Sok asik banget lo Awan!, sesalku dalam hati.
“Enggak kok, aku ambil cuti untuk pulang ke rumah nenek. Mau kembaliin payung, ya?”
“Iya nih, makasih ya,” kusodorkan payung lalu dia menerimanya.
Setelah itu, aku langsung pamit kembali ke ruangan, padahal waktu istirahat masih panjang. “Oke,” jawabnya singkat lalu berpaling duluan.
Kesalahan bodohku adalah, aku selalu lupa membawa payung. Sore itu, lagi-lagi hujan.
“Antara lupa, atau sengaja.” Tiba-tiba Bunga muncul dari belakang. “Mau pakai payungku lagi?”
“Enggak, enggak usah, gua tunggu reda aja. Ntar lo sakit lagi gara-gara hujan-hujanan.”
“Siapa bilang aku sakit karena hujan?”
Aku tidak menjawab, lebih memilih untuk memerhatikan hujan daripada harus basa-basi dengan gadis ini.
“Hujan itu enggak bikin sakit,” dia meneruskan. “Cuma manusianya aja yang benci hujan, seakan akan hujan jahat. Padahal hujan indah.”
Dia menyodorkan payung itu lagi.
“Nih, kali ini enggak perlu dibalikin. Aku juga jarang pake kok. Payung itu cuma buat yang membutuhkan aja. Buat kucing yang takut air, misalnya.” Dia berlalu sambil berkata, “Bunga justru harus suka hujan. Bunga hidup karenanya.”
Aku tidak tahu apakah dia menganalogikan aku sebagai kucing, atau kucing hanya sebagai contoh saja.
Tapi tentang bunga, aku setuju. Aku lebih setuju lagi kalau nama adalah gambaran diri. Yah, awan memang ditakdirkan untuk mendung bukan? Sepertinya, murung memang sudah menjadi takdirku. Aku tidak perlu merasa bersalah karena sudah jadi orang yang kurang menyenangkan.
Aku tidak ingat pertemuan selanjutnya. Yang kutahu adalah dia yang mendekatiku lebih dulu. Mungkin karena aku selalu terlihat murung dan dia tipe orang yang tidak bisa melihat orang murung sendirian. Dia selalu menghampiriku saat makan siang. Membicarakan apapun, walau aku tidak memperlihatkan ketertarikan.
Bunga punya banyak sekali cerita tentang kehidupan sekitarnya. Dia tidak pernah membiarkan satu hari berlalu dengan biasa saja. Dia menceritakan tentang kucing-kucing jalanan yang ditemuinya. Dia menceritakan tentang nyamuk gendut yang hinggap di tangannya. Dia menceritakan tentang lampu jalan, tukang parkir, dan hal-hal remeh lainnya.
Entah kenapa, tidak ada bagian dari diriku yang merasa terusik dengan keberadaannya. Tidak ada penolakan apapun. Sepertinya tubuh ini sudah terbiasa dengan kehadirannya bahkan sejak dia meminjamkan payung pertama kali.
Mungkin karena sudah terbiasa, atau memang karena dia memang menarik saja. Pada akhirnya, aku rasa, aku menyukainya. Aku, suka Bunga.
Suatu hari sepulang kerja, dia mengajakku menonton bioskop. “Aku suka banget cerita Charlie and The Chocolate Victory, aku harap film Wonka enggak mengecewakan,” katanya sebelum nonton.
Sayangnya, aku sama sekali tidak mengerti isi filmnya. Rasanya aneh menonton film yang di setiap adegan, kamu melihat pemainnya bernyanyi. Semua kegiatan jadi terasa lucu, bahkan adegan sedih sekalipun.
Aku memperhatikan Bunga sebentar, aku melihat ada bulir air di bawah matanya, seakan mata yang sudah berbinar masih belum cukup dengan gemerlapnya. Dia menangis. Saat itu, entah apa yang aku pikirkan, seakan cemburu melihat gadis itu lebih terhanyut pada hal lain, aku menggenggam tangannya lalu berbisik, “aku suka kamu.”
Film selesai, dan kami masih berpegangan tangan. Tapi, Bunga tidak menjawab apapun tentang bisikanku di tengah film tadi. Dia menatapku sebentar lalu tersenyum, “tau gak? Malam ini, katanya akan hujan.”
Benar saja, malam itu hujan turun deras sekali. Kami berdua tidak ada yang membawa payung. Bunga mengajakku berlari dalam hujan, untuk pertama kalinya aku menurut. “Lihat kan, hujan tidak semenyebalkan yang kamu kira.”
“Darimana kamu tahu kalau aku benci hujan?”
“Dari namamu, dari kemurunganmu, aku pikir kamu tidak suka hujan karena membuat awan menghilang.” Dia tertawa, “tapi kamu tidak menghilang, Awan. Kamu akan tetap di sini. Kamu akan tetap jadi Awan yang memberiku hujan, supaya aku tetap hidup.”
Hari-hari kulewati bersama Bunga. Semakin hari, aku merasa kehidupanku semakin cerah. Aku sudah lebih banyak mengobrol, bahkan terkadang mengoceh sendiri di depan teman kantorku, menceritakan Bunga.
“Memang benar ya, cinta itu bisa merubah orang 180 derajat,” keluh temanku suatu hari.
Tapi aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanya Bunga dan cerita-ceritanya.
“Kalau pada akhirnya akan mati, kenapa aku masih ada di sini?”
Aku tidak menjawab karena tahu dia sudah punya jawaban. Ini yang biasa aku lakukan, membiarkan dia berbicara sesukanya, menyaksikan bagaimana dalamnya otak di tubuh kecil gadis itu bisa bekerja.
“Karena aku masih perlu melakukan hal-hal berguna, Awan. Aku masih punya andil di dunia. Aku masih punya peran. Seperti Will yang masih hidup sampai season 4 karena mungkin dia adalah kunci dari portal Upside Down walaupun hanya terlihat seperti karakter sampingan.” Dia melihat langit padahal Awan ada di sebelahnya. Rambutnya yang panjang dan sedikit ikal dikuncir ke belakang membuatnya terlihat seperti anak-anak. “Jadi kalau sudah tidak punya andil, aku akan mati.”
“Bagaimana?” tanyaku tiba-tiba. Saat itu aku sedikit menyesal menanyakannya karena pertanyaan itu bodoh sekali. Seperti, menanyakan sesuatu yang bukan dalam kendali, menanyakan sesuatu yang sudah pasti tidak ada jawabannya.
“Banyak cara..” ternyata dia punya jawaban, dan kata itu dia akhiri dengan tersenyum lebar dan menarikku untuk pergi ke toko roti seberang jalan.
Aku kira, inti dari perkataannya saat itu adalah, kita masih harus tetap hidup. Bagaimana tidak, gadis itu sama bercahayanya dengan bintang yang berkelap kelip saat malam, gadis itu punya mata yang berbinar-binar, gadis itu selalu ceria dan berusaha sekuat tenaga untuk membantu orang sekitar. Tapi aku malah salah mengerti. Ternyata maksudnya adalah: “aku sudah harus mati.”
Pemakaman hari itu hanya dihadiri oleh orang kantor. Anggota keluarga yang mengantarnya ke pemakaman hanya nenek dan pamannya. Aku merasa malu dan kesal pada diri sendiri. Seperti telah diberi sebuah kotak kejutan yang isinya setumpuk penyesalan.
Hal yang paling kusesali adalah, ketika sadar bahwa, Bunga tidak pernah bercerita tentang dirinya. Selama ini dia hanya menceritakan lingkungan sekitarnya, hal yang menurutnya, membuat dia bahagia. Dia tidak pernah bercerita tentang apa yang sebenarnya sedang dia alami. Dia tidak pernah bercerita tentang apa yang dia rasakan. Dia tidak pernah bercerita tentang penyakitnya.
Kalau saja di pertemuan terakhir itu aku lebih peka. Kalau saja selama ini aku selalu menyuruhnya berhenti menceritakan hal-hal bodoh dan bersikeras untuk tahu lebih dalam tentangnya. Kalau saja, aku tahu cara yang benar untuk mencintainya.
Mau bagaimanapun, setiap manusia baru merasakan hidup pertama kali. Apa iya ada cara yang ‘benar’ untuk mencintai?
Nenek Bunga menghampiri aku yang hanya terdiam agak jauh menatap pemakaman yang sepi itu. “Awan, ya?”
Aku mengangguk lalu tersenyum tipis.
“Bunga pasti tidak cerita?” Aku mengangguk lagi.
Tidak terasa air mataku akhirnya jatuh. Nenek Bunga memelukku dengan lembut dan berkata, “Bunga memang begitu, tidak apa-apa. Dia selalu bahagia dimanapun berada.” Setelah menepuk pundakku beberapa kali, nenek melepaskan pelukannya, “terima kasih sudah pernah ikut menjaga Bunga.”
Pemakaman akhirnya kosong dan nenek pamit untuk pulang duluan. Aku menghampiri makam gadis itu, memperhatikan kelopak-kelopak bunga ditaburkan di atasnya. Bunga-bunga yang nantinya juga akan layu dan mengering.
Ada banyak cara untuk mati, dan itu berlaku juga untuk bunga-bunga.
Bunga akhirnya layu, karena Awan tidak memberi hujan, seperti yang dia butuhkan.