Si Kecil Newton

catatan : ini hanya cerita fiksi yang terinspirasi dari kisah Isaac Newton.

yang tertulis; untuk seseorang yang membuatku menyukai Fisika


Desa Woolthorpe itu memang tidak besar. Hanya beberapa anak saja yang terlihat berlari lari ke sana sini dan beberapa orang tua yang sedang mengobrol di luar. Tapi dari desa kecil itu, aku selalu bisa mencium aroma rumput liar di malam hari. Selalu bisa merasakan dinginnya angin pegunungan yang sejuk. Mendorongku untuk membuka jendela hampir pada tiap malam. Membiarkan tirainya menari-nari bersama angin.

Kamarku menghadap ke pegunungan. Dari sana aku bisa melihat matahari terbit saat pagi. Bintang bintang malam juga tak kalah saat mengambil perhatianku. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Sejak dulu. Sejak aku berumur empatbelas tahun. Sejak aku pindah dari London ke desa Woolthorpe karena tugas ayahku. Sejak aku tau kamarku memiliki satu jendela. Satu jendela yang bisa membuatku merasakan segalanya.

Awal kedatanganku di bulan Juni, aku tidak begitu tertarik dengan desa kecil ini. Bahkan bisa dibilang aku benci dengan ide orang tuaku untuk tinggal di sini. Di London rumahku lebih besar dan bagus. Aku juga punya banyak sekali teman di sana. Aku tidak begitu peduli dengan angin angin pedesaan dan aroma rumput. Yang kuingin hanyalah teman teman baik yang selalu ada di dekatku.

Hingga ketika ibu memberitahuku kamarku ada di lantai atas, aku langsung berhambur ke kamarku dan membuka jendelanya. Hanya terlihat gunung dan sebuah pondok kecil berwarna cokelat tua yang reyot. Aku tidak berpikir kalau pondok itu memiliki penghuni. Tapi dugaanku salah. Di sana terlihat nenek yang duduk di teras sambil merajut sebuah, syal, kurasa. Sedikit membosankan. Aku pun menarik sebuah kursi yang lumayan besar ke depan jendela itu dan duduk di sana sambil menopang dagu.

Matahari sepertinya sudah akan tenggelam. Dari arah pegunungan turun seorang anak lelaki dan beberapa kambing yang melompat lompat. Mereka semua terlihat sangat bahagia. Di tinggalkannya satu ekor kambing di depan pondok itu. Disambut dengan nenek yang sudah selesai dengan syalnya. Anak lelaki itu berlalu. Membawa kambing kambing yang lain. Tidak butuh waktu yang lama. Anak lelaki itu kembali. Membawa sepotong roti putih yang dibungkus dengan plastik. Si nenek mengelus kepalanya. Melilitkan syal kepada leher anak itu. Setelah itu si anak memerah susu kambing dan menampungnya dengan dua buah mangkok dan membawanya ke dalam pondok. Diikuti juga oleh langkah nenek. Tidak ada yang keluar sehabis itu. Hanya bintang bintang dan suara jangkrik yang mulai terdengar.

Aku ingin menemuinya. Aku berkata tak sabaran, dengan kaki terhentak-hentak di bawah meja.

Habiskan dulu makananmu. Ibu memberitahu, berjanji akan mengantarku sehabis itu. Dengan begitu langsung kulahap roti dengan selai kacang itu dan meminum segelas susu. Lalu ibu membawaku dan sekeranjang buah jeruk yang akan diberikan pada penghuni pondok itu. Dan kami pun bergegas.

Hanya ada dua orang di dalam pondok. Si nenek dan si anak lelaki. Baru kuketahui anak lelaki itu seumuran denganku. Walaupun badannya sedikit lebih kecil. “Siapa namamu?” aku bertanya.
“Isaac, Isaac Newton,” jawabnya sedikit malu malu.
“Nama yang bagus! Aku Anna,” dan kami pun berjabat tangan. “Aku tinggal di rumah itu, lihat, kamarku yang jendelanya menghadap ke sini,” aku menunjuk kamarku. Ternyata terlihat cukup jauh jika dilihat dari pondok itu. Dia mengangguk.

Obrolan kami dilanjutkan dengan membicarakan kambing kambing yang dibawa Isaac tadi sore. Katanya dia mengurus kambing kambing itu. Setiap pagi dia akan membawanya ke gunung dan sore harinya dia akan mengembalikan mereka ke pemiliknya.

Jika kau ingin kau boleh ikut, dia menawarkan. Aku girang bukan main. Rasanya ingin cepat cepat hari ini berlalu. Ibu lalu mengajakku pulang. Sudah terlalu malam, katanya. Sesampainya di rumah aku berlari ke kamarku dan memeriksa keluar jendela sebentar. Setelah itu aku melompat ke kasurku dan tertidur dengan ditemani suara jangkrik.

Besoknya aku benar benar ikut dengannya. Berlari dengan kambing kambing sambil bersenandung dengan girang. Isaac di belakang saja. Menjaga kambing agar tidak kabur -walau sebenarnya kuyakini kalau kambing itu tak akan lari jauh jauh dari Isaac-.

Kami sampai di sebuah padang rumput. Begitu hijau dan luas. Isaac membiarkan kambing kambing bebas di padang itu. Kemudian dia duduk di atas rumput hijau. Aku mengikutinya. Dia banyak sekali bercerita. Tentang ayahnya yang meninggal saat dia masih di dalam perut ibunya. Tentang ibunya yang menikah lagi dan menyuruhnya tinggal bersama nenek. Tentang sekolahnya, pendidikannya, dia cerita banyak hal. Aku pun begitu. Bercerita bagaimana keadaan di London. Isaac bilang dia menyukai kota itu. Dia banyak mendengar cerita orang kalau London adalah tempat yang indah. Tidak kataku, satu satunya tempat paling indah yang kutahu adalah Woolthorpe. London terlalu ramai. Saat itu aku sadari aku menyukai tempat ini.

Begitulah setiap harinya. Saat malam tiba, selesai makan, aku akan bergegas ke kamarku dan melihat bintang. Sesekali aku berharap Isaac akan keluar dan melambaikan tangannya padaku. Tapi itu tidak pernah terjadi, omong omong. Mungkin dia kelelahan dan tertidur lebih awal setiap harinya, jadi dia tidak pernah keluar saat malam hari.

Libur musim panas sudah selesai. Aku mulai masuk ke sekolah baru. Isaac juga bersekolah di sana. Isaac yang mengajakku berkeliling sekolah. Dia mengenalkanku pada beberapa temannya. Yah, dia tidak punya banyak teman. Katanya dia lebih suka menghabiskan waktu istirahat untuk membuat bangunan dari balok balok kayu berwarna di dalam kelas. Isaac anak yang pintar. Dia bahkan menjadi anak terpintar di sekolah kami. Aku senang, sungguh.

Tapi itu tidak membuatku senang lagi. Kepintarannya membuat dia jauh dariku. Saat itu sekolah mengadakan kemah. Aku kira Isaac akan ikut dan menemaniku. Padahal aku sudah memikirkan apa saja yang akan kulakukan bersama Isaac nantinya. Tapi dia tidak ikut, ternyata. Dia hanya mengantarku pergi ke sekolah lalu pulang lagi.

“ibuku ingin bertemu denganku,” katanya sambil menundukan kepalanya.
“tidak apa apa Isaac, sungguh,” aku meyakinkan diriku sendiri. “toh, kita akan bertemu lagi saat aku pulang nanti,” Dia hanya tersenyum. Mengelus rambutku, lalu pergi sambil melambaikan tangan.

Malamnya ketika aku berbaring sendirian di atas
tanah perkemahan, memandangi bintang
sendirian. Ada sesuatu yang aneh yang kurasakan. Seperti suatu kehampaan
di rongga dadaku. Bintang-bintang berkerlipan,
aku mencoba memejamkan mata. Yang kulihat
adalah wajah Isaac. Bagaimana dia cemberut.
Bagaimana dia tertawa. Bagaimana dia tertidur
bersamaku di padang rumput. Bagaimana elusan tangannya di rambutku mengalirkan sengatan sengatan listrik yang manis. Jantungku berdebar-debar, aku menekan telapak tangan di dada, tapi rasanya malah sakit. Dan wajahnya terus berputar-putar. Kuketahui saat itu aku mulai mencintainya.

Aku sekali lagi berharap akan ada bintang jatuh
malam itu. Aku akan membuat permohonan seperti yang sudah kunantikan begitu lama. Tapi bintang tak kunjung jatuh. Padahal permintaanku begitu sederhana: aku hanya ingin tetap bersamanya. Terus bersamanya.

Aku tidak punya kesempatan untuk melihat bintang jatuh, seperti aku yang tidak punya
kesempatan untuk mengantar kepergiannya.
Pondoknya kosong melompong saat kukunjungi
sepulang perkemahan. Yang ada hanya teras yang dipenuhi dedaunan kering. Ibu bilang mereka pindah ke London, sehari sebelum kepulanganku ke rumah. Aku terlambat.

Dan saat itu pula aku menyalahkan bintang-
bintang atas semua yang terjadi. Meski begitu, aku tidak bisa berbohong. Aku tetap menyukai bintang, tetap memandanginya setiap malam meski itu membuatku semakin merindukannya.

Lima tahun berlalu. Masih bersama ingatan tentang dirinya. Aku tidak sengaja mendengar dari seorang tetangga, kalau Isaac sekarang bersekolah di Trinity College di Universitas Cambridge. Setelah itu, langsung aku menceritakannya pada ayahku dan meminta ayahku untuk memindahkanku ke universitas itu.

“jujur saja itu sulit nak, ayah masih bertugas di sini sampai tiga tahun ke depan,” aku kecewa, sungguh. Jadi aku diam saja. “ayah senang jika kau bertemu dengan Isaac lagi, ayah akan usahakan nak,”

Ayah akan usahakan nak, hanya itu yang terngiang. Membuatku semakin sering berharap akan bertemu lagi dengannya. Tapi seperti inilah yang terjadi, bahkan aku tidak bisa mengobrol dengannya walau dia berada di ruangan yang sama denganku. Dia disana, berdiri dengan tubuh agak kurusnya, tersenyum bangga saat mengungkapkan teori teori yang dibuatnya tentang rumus rumus fisika. Aku hanya seorang yang mendukung teorinya. Hanya duduk, mendengarkan, dan bertepuk tangan.

Dan waktu terus berlanjut. Umurku terus
bertambah dan keadaan semakin banyak berubah. Aku kembali lagi, menemani ibu yang katanya ingin tinggal di Woolthorpe. Menempati rumah dan kamarku dulu. Jendelanya ditambah, tidak cuma satu. Pondok di belakang rumah sudah tidak ada. Aku pernah ke padang rumput tempat kambing kambing berlari lari dulu. Tapi itu membuat tenggorokanku sedikit tercekat, jadi aku tidak pernah ingin pergi ke sana lagi.

Aku hanya berharap bintang jatuh. Permintaanku: Isaac tidak benar benar melupakanku.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *